VIII

611 75 19
                                    

Tak ada waktu lagi. Firza tak bisa berpikir panjang. Dengan cepat ia bergegas menuju kamar mandi. Membasuh tubuhnya yang penting basah. Setidaknya jangan sampai kelihatan seperti orang nangis semalaman―walau tetap kelihatan―baru bangun.

Ia ingin bertemu dengannya.

Keluar dari kamar mandi, ia langsung menuju kamar. Ia tak butuh penampilan sempurna. Karenanya, ia mengambil rok abu, kaos oblong hitam, dan hoodie warna navy yang juga dimiliki Raafi. Itu hoodie kelasan saat kelas 2 SMA. Dan pakaian itulah ... yang dikenakan Firza saat terakhir bertemu Raafi.

Setelah pakaian, ia memasukkan binder yang biasanya ia bawa ke kampus serta buku paket Biologi SMA yang kebetulan belum ia kembalikan ke dalam tas. Kemudian menggaet tasnya itu di punggung. Oke, ini akan ia jadikan alasan kalau nanti bertemu Raafi dan jika saja cowok itu bertanya.

"Za, lo gila," ucapnya sambil menatap cermin yang juga mengecek penampilannya takut-takut berlebihan. Fine, jangan sampai cowok itu merasa ada yang aneh jika saja nanti mereka bertemu.

Keluar kamar, Firza baru saja hendak pamit pada Papa. Namun....

"Mau kemana? Jemuran yang disuruh mama tadi udah beres?"

Deg

Ia lupa. Tadi ... pagi sekali. Sebelum mama pergi, mama memintanya untuk menjemur baju terlebih dulu. Tapi waktunya....

Dengan lesu gadis itu menyimpan tasnya di kursi. Kemudian berjalan ke belakang rumah untuk menjemur baju-baju itu. Ada sekitar 2 ember baju. Cukup memakan waktu, ia hanya butuh keajaiban saat ini.

Setelah semua selesai, ia baru merasakan kejanggalan. Demi apapun, harusnya baju-baju itu ia keringkan dulu di mesin cuci sebelum menjemurnya. Sial, ia benar-benar tak punya waktu lagi. Ia tak peduli lagi kalau akan dimarahi mama nanti. Ia harus berangkat saat ini juga.

"Pa, Firza berangkat," katanya sambil menyalami Papa. Kemudian berlari tergesa menuju depan komplek untuk mendapat angkot. Benar-benar, ia hanya butuh keajaiban.

Sesampainya di depan, untungnya ia langsung mendapat angkot sesuai jurusan sekolahnya dulu. Setidaknya ia bisa bernapas lega sejenak. Di sisi lain, ia baru ingat kalau dirinya belum makan sama sekali.

B'rapa kali ku harus melangkah di jalan ini?
Berharap kan bertemu denganmu
Berhenti di berbagai sudut dalam kota ini
Apakah yang kucari?

Pelantang yang terhubung dengan ponsel Firza kini melantunkan sebuah lagu. Itu Ima Naraba yang dinyanyikan Sayaka Yamamoto dan Miyuki Watanabe dari NMB48. Lagu yang baru Firza sadari artinya.

Waktu pun memberikan harapan
Namun tak berhasil dan berlalu
Meskipun ku mencoba 'tuk berbicara, kita s'lalu melewatkannya

Jika sekarang
Kudapat katakan segala hal yang tidak kutunjukkan
Jika sekarang
Bisa lebih jujur dan membuka hatiku untukmu

Hell, ia tak boleh menangis di sini. Lagi pula, dulu, lagu ini tak berefek apa-apa padanya. Tapi sekarang?

Tanpa menemukan tempat yang telah dijanjikan
Aku tersesat seorang diri
Tetapi petaku berbeda dengan yang lainnya
Dan buat salah paham

Karena cinta hanya berlalu
Kubaru rasakan setelahnya
Sebenarnya aku tahu
orang yang berharga itu
Tapi kudiam

Maka sekarang
Mungkin terlambat tuk mengungkapkan semua p'rasaan ini
Maka sekarang, meski memalukan
Ingin jumpa!
S'moga masih sempat

"Semoga saja," gumamnya. Namun, ia baru sadar kalau angkot yang ia naiki baru saja berhenti. Demi apapun, ini tempat macet. Jangan bilang benar-benar macet.

Terkadang kita begitu mirip
Tak ingin kalah dari siapapun
Karena tanpa sadar
Kita saling bersaing
Ciptakan jarak satu sama lain

Jika sekarang
Kudapat katakan segala hal yang tak ku perlihatkan
Jika sekarang
Bisa lebih jujur dan membuka hatiku untukmu

Mulai sekarang
Kudapat katakan
Meskipun kita di jalan berbeda
Mulai sekarang
Lihatlah ke langit
Kapanpun kan pergi temuimu

Sampai lagu itu selesai, angkot yang ia naiki belum juga maju. Oke, firasatnya semakin buruk. Ia harus turun di sini sekarang juga. Ia tak peduli meskipun masih jauh.

Pada akhirnya Firza turun. Setelah membayar ongkos angkot setengah perjalanan. Gadis itu langsung berlari menuju jalan pintas yang setidaknya lebih dekat dibandingkan ia harus mengikuti jalur angkot.

"Kalau tau gini dari tadi turun," decaknya saat melihat kemacetan yang mengular. Padahal pengecoran jalannya sudah selesai dua minggu lalu. Harusnya tidak begini.

Sekarang, Firza berjalan menuju tangga seribu yang nantinya menembus sebuah jembatan gantung yang menyebrangi sungai cisadane.

Namun, seakan sesuatu mencoba membuatnya tak bisa bertemu dengan sosok itu. Di tangga, ada antrean anak Pramuka yang sepertinya sedang pelantikan. Fine! Ini Sabtu. Tapi setidaknya.

"Permisi," ucap Firza sambil menyelip di antara anak-anak Pramuka itu. Setelah antreannya mulai renggang. Firza pada akhirnya berlari menuruni tangga. Ia tak peduli meski jadi bahan tontonan anak-anak itu. Lagi pula ia pakai sneakers, jadi tidak akan―"Sial," umpatnya saat kakinya hampir saja membuat dirinya jatuh di tangga.

Bohong kalau tidak sakit, tadi sempat kepelitek sedikit. Tapi ia masih bisa lari kok. Begitu sampai akhir tangga dan menyatukannya dengan jalan yang bisa dilalui motor, ada lagi sesuatu yang membuatnya terhambat.

"Plis, gue gak lagi pengen ngedrama," keluhnya saat melihat kemacetan di jalan yang lebarnya tak lebih dari dua meter itu. Buruknya, jembatan itu juga macet.

Sejujurnya ia sudah ingin menangis. Kalau begini, ia benar-benar terlambat. Tapi, ia tidak ingin menyerah begitu saja. Setidaknya, ia belum sampai. Ia belum tahu.

"It's gonna be okay, Za!"

Gadis itu menghela napasnya sejenak. Kemudian berlari dengan menyelip di antara motor-motor. Saat di jembatan, sejujurnya Firza merasa ketakutan.

Bukan, ia tidak punya phobia ketinggian, tapi di atas jembatan dengan banyak orang yang lewat juga beberapa di antaranya membawa motor, sementara di bawah ada aliran sungai yang begitu deras. Tentu saja rasa takutnya tiba. Bagaimana kalau―pikirannya buruknya berhenti begitu melihat seseorang dengan motor matic yang perasaan, Firza seperti mengenalnya. Lalu sepatu cokelat itu...

Dia nggak mungkin ada di sini, Za.

Ia sudah tak peduli. Dengan cepat ia menyelip di antara orang-orang. Sampai akhirnya motor itu ada di hadapannya dan berhasil ia salip. Saat Firza menolehkan wajahnya ke belakang ... bahunya langsung turun dan mengembuskan napas lesu.

Itu bukan Raafi.

***

AFTEARS [END]Where stories live. Discover now