III

900 98 34
                                    

Deg

Selamat berjuang di ...

Sial. Kata-kata yang berada di baris terakhir itu, entah kenapa membuat matanya memanas. Ah tidak, jangan dulu keluar. Air mata sialan itu tak boleh keluar begitu saja.

"Ja, lebay deh, plis!" ujarnya pada diri sendiri sambil mengusap air mata yang sudah ada di pelupuk itu.

Dengan kasar Firza men-scroll komentar-komentar yang ada di sana. Demi apapun hal ini tidak lucu. Jangan sampai sebuah foto dan beberapa ocehan orang-orang mempermainkan dirinya. Untuk alasan apapun, bukan saatnya untuk menyebar sebuah lelucon.

Di sisi lain ia mengingat sesuatu.

Dia ... bahkan nggak ngasih tau satu pun anak yang ada di IPA 3.

Ya, karena pada kenyataannya. Akun milik seorang Raafi hanya diikuti oleh Firza kalau yang sekelas dengannya. Sisanya? Mana ada yang tahu cowok itu main ig. Walau akunnya baru diisi sebuah foto.

Foto dengan caption sialan itu.

Raafi Azkadipta. Mantan teman sekelas selama tiga tahun, se―dua―ekskul, sebangku saat MOS, sekelompok, sehobi, dan ... beberapa 'se' yang tanpa sadar sering kali membuatnya berada dalam ruang lingkup yang sama dengan Firza.

Gadis itu lebih sering menyebutnya sebagai orang-yang-kebetulan-sering-lewat dalam kehidupan SMA-nya.

Raafi termasuk siswa yang cukup bahkan sangat dikenal di kalangan junior, teman seangkatan, bahkan senior―simpelnya, fansnya banyak. Ini klasik. Dan untuk alasan apapun, Firza sangat membenci kenyataan ini.

Dia pandai di hampir seluruh permainan olahraga, punya wajah di atas rata-rata walau menurut Firza dia lebih cantik dari seorang gadis, bisa bicara dengan mudah di depan siapapun, kata orang dingin―walau menurut Firza aslinya dia menyebalkan, suka bicara dan bersikap seenaknya, dan ... hal-hal lain yang tak perlu dijabarkan karena terlalu banyak.

Walau begitu, ia tetaplah sosok teman yang baik bahkan sangat baik bagi Firza.

Pada awalnya, Firza mengenal sosok itu saat MOS di SMA. Saat itu, senior yang bertanggung jawab pada gugus sekaligus kelasnya tengah mengacak bangku. Sebelumnya, Firza duduk dengan seorang gadis bernama Hana. Namun dipindahkan.

Saat itulah ... Firza sebangku dengannya. Hingga satu minggu penuh.

Firza yang memang cuek langsung duduk santai sambil sibuk dengan ponsel dan musiknya, ia bahkan tidak melirik siapa yang kala itu duduk di sebelahnya.

Sampai ... Firza mengaku padanya tidak bawa kacamata. Walau kenyataannya, Firza bahkan belum membeli kacamata sama sekali. Di situ, mau tidak mau Firza menanyakan namanya.

Raafi yang ternyata sama-sama sibuk dengan urusannya, hanya menoleh sekilas dan memberitahu nama panggilannya.

Setelah itu, Firza menyampaikan tujuannya. Dan saat Raafi menyodorkan bukunya yang telah menulis catatan yang ada di papan tulis, Firza hanya bisa mendengus kalau tulisan cowok itu sangat jelek.

Walau pada akhirnya aku merindukan tulisan itu.

Karena takut dianggap tidak sopan bila protes, Firza pun menulisnya sambil menyipitkan mata saking bingungnya. Demi apapun, tulisannya memang jelek.

Tak cukup sampai di situ. Sepulang sekolah saat Firza hendak kumpul salah satu klub―Japan Club. Mereka bertemu. Dan Firza bersumpah kalau itu hanya kebetulan.

Namun sejak saat itu ... kebetulan-kebetulan itu terus saja berulang.

***

Bogor, 13 November 2017
22:40 WIB
Your Last Night in This Country

Mirip sama kisah Len sama Ren? Er, ini masih sisi mereka. Kuharap kalian suka. Dan kuharap ... tidak ada air mata lagi setelahnya.

Regards

Nari

AFTEARS [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora