IX

576 75 3
                                    

Itu ... bukan Raafi.

Lagian dia ada di sekolah. Gak mungkin ngedadak ada di daerah ini, batinnya sambil terus berlari.

Sekarang ia harus berlari sekitar 100 meter ke jalan raya untuk dapat angkot jurusan SMA-nya. Namun sesampainya di sana, jalan raya malah lengang. Pastinya karena angkot-angkot itu terkena macet di jalur yang harusnya dilalui Firza biasanya.

Sambil berlari, gadis itu sesekali melirik jam. Sudah jam setengah sebelas. Lita pun belum menghubunginya lagi.

Sekarang ia sampai di tanjakkan. Di situ, barulah Firza mendapat angkot. Sebenarnya takkan sampai 5 menit kalau naik dari sini. Tapi tetap saja, begitu ia turun, ia harus berjalan kembali cukup jauh.

Setelah turun dari angkot, Firza langsung berlari menyeberangi jalan raya. Masuk ke daerah dengan gang-gang yang nantinya menembus ke sekolah lamanya. Ada sekitar tiga gang dan dua jalan setapak yang harus dilaluinya.

Sampai akhirnya ... ia tiba di tempat tujuannya. Ramai, tampaknya sedang ada acara. Ah, ini acara rutin yang biasa diadakan Paskibraka sekolahnya.

Gimana gue masuknya, batin Firza.

Sampai matanya tertuju pada ponselnya. Ia langsung menghubungi Lita. Hingga akhirnya gadis itu memintanya untuk datang ke depan kelas lamanya.

Namun sampai di sana....

"Dia mana?"

"Kakak lama, sih. Kayaknya udah pulang."

Deg

Tubuh Firza merosot. Ia langsung mendudukkan diri ke kursi. Menarik napas sepanjang-panjangnya sambil menggigit kuat-kuat rahangnya.

Karena pada kenyataannya. Keajaiban yang biasa terjadi pada cerita-cerita remaja itu hanya kebohongan belaka. Tak ada kisah semanis itu kalau tidak dimanipulasi. Semuanya ... terlalu menyakitkan.

***

Langit perlahan mulai berubah warna. Matahari bergerak kian cepat ke suatu tempat. Suara klakson yang saling bersahutan pun kini semakin ramai. Tapi gadis itu tidak peduli.

Ia lelah.

Tadi, setelah keterlambatannya. Ia memilih untuk jalan kaki dari sekolah lamanya kemudian mengitari jalan setapak yang mengelilingi Kebun Raya Bogor.

Tidak bohong kalau ia masih mencari kesempatan agar bisa jumpa. Tapi, takdirnya tak berubah. Ia sudah ada di titik awal. Ia harus pulang sekarang. Lagi pula, kakinya terasa amat menyakitkan. Tak perlu dijelaskan kembali.

Tapi ada baiknya juga. Karena kalau mereka bertemu. Ia bahkan tak tahu harus bilang apa dan mungkin saja tangisannya akan pecah saat itu juga.

"Lit, makasih ya udah nemenin," kata Firza pada adik kelasnya itu, "maaf malah ngerepotin."

"Nggak apa, Kak," balas Lita, "nanti, pasti bisa ketemu, kok!"

Ya, pasti bisa jumpa lagi. Entah kapan itu. Tapi yang dirinya tahu, lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Dan lima tahun itu, pasti banyak yang berubah.

Di sisi lain, ia masih punya kesempatan untuk mengatakan sesuatu walau tidak langsung. Ia harus mengatakannya sebelum menyesal kembali.

***

"Firza pulang," ucapnya begitu tiba sampai rumah.

Tanpa menunggu jawaban, gadis itu langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Membiarkan air mata yang sejak tadi pagi ia tahan untuk keluar. Ia hanya ingin lega.

Masih dengan air mata itu. Ia mengambil ponselnya. Membuka LINE dan dengan cepat mencari salah satu kontak. Ya, kontak milik sosok itu.

Raafi

Begitu yang tertulis di sana.

Sekarang, ia menekan menu yang menghubungkannya dengan sebuah ruang chat. Ruang virtual yang dulu seringkali menghubungkan mereka. Namun kini kosong.

Terakhir, gadis itu menghapus data. Sisanya, ada di ponselnya yang lama yang tentunya juga sudah ia uninstall aplikasinya. Semua kembali dari awal.

Semua bakal baik-baik aja, batinnya. Chat aja kayak biasanya seorang Firza.

Ya, bersikap biasa seperti dahulu. Seperti saat ia seringkali menyangkal perasaan itu. Semua akan baik-baik saja. Peduli karena ia sahabatnya, orang yang seringkali membantunya. Orang yang berharga.

Lu dapet beasiswa, bukan? Hebat amat. Tau-tau yaaa, udah mau otw.

Akhirnya beberapa kata terkirim. Ia tak peduli mau dibalas apa tidak. Yang penting ia sudah mengirimnya. Lagi pula, ia jarang buka LINE.

Sejenak, Firza membiarkan ponselnya. Ia terlelap sesaat. Sampai, ketika ia terbangun dari tidur singkatnya. Ada sebuah balasan di roomchat antara ia dengan Raafi.

Beasiswa apaan 😅😅

"Sialan," decak Firza. Demi apapun ini memalukan. Bukan beasiswa? Lalu...

Terus apaan? Kata Lita....

Terkirim. Firza baru sadar kalau artinya ia kepo dan bertanya-tanya pada Lita. Ah, demi apapun Raafi memang menyebalkan. Mau ditaruh di mana mukanya sekarang.

Ya keterima aja diluar..

Ya Tuhan, dengan mudahnya manusia sengklek itu berbicara. Firza jadi kesal sendiri jadinya. Tanpa disadari, rasa sakit yang sebelumnya amat menyiksa perlahan menguap.

Plis, gampang amat ngomongnya (¯―¯٥)

Setelah mengirim chat itu, Raafi hanya membalas emoticon yang sama seperti sebelumnya. Dasar ... orang baik.

Ya sudah, selamat (;^ω^)btw, bukan jepang?

Dan setelah itu, balon-balon chat kian menumpuk dalam ruangan yang sebelumnya tak terisi. Sampai terakhir, Firza mengirimkan chat yang saat terkirim, entah kenapa terasa menyakitkan.

Balapan ya, siapa yang dulu sampe jepang!

Tak butuh waktu yang lama. Raafi membalas okay tanda mengiyakan.

Padahal, entah ia paham atau tidak. Ada makna yang luas di balik chat yang dikirimkan oleh Firza tadi. Terlalu luas, sampai rasanya sulit untuk dijelaskan.

***

AFTEARS [END]Where stories live. Discover now