Would you?

1.1K 58 13
                                        

Setiap hari, hal-hal tak terduga datang silih berganti. Sebagian orang menganggap kedatangan hal itu adalah hal menyenangkan. Sementara sebagian lainnya menganggap bahwa kedatangannya adalah sebuah mala petaka.

Dan sebagian yang menganggap opsi kedua adalah Trisa.

Bersama gerutuan di hatinya, gadis remaja itu duduk di dalam sebuah warung kecil depan SMA Garuda.

Kalau di suruh milih antara menetap di sekolah atau langsung pulang, pastilah ia akan memilih untuk langsung pulang. Trisa bukan tipe cewek yang suka berlama-lama di sekolah. Lebih tepatnya sih, di luar rumah.

Karena kedatangan hujan dadakan, Trisa terpaksa harus berteduh di dalam warung ini. Udara yang dingin membuatnya ingin makan yang hangat sehingga ia memilih untuk bertuduh di sana.

Dahi Trisa tetap mengerut kesal. Mie instan rebus di makuk gambar ayam sudah habis dilahapnya. Tapi hujan tak kunjung reda.

Gadis itu cukup menggigil akibat angin dingin yang menusuk tulangnya. Sekarang ia menyesal mengapa ia tak menggunakan jaket tadi pagi.

Beberapa menit kemudian, badannya terasa sedikit hangat akibat sesuatu yang menutupi punggungnya. Memalingkan pandangan dari jalanan, Trisa membalikan tubuhnya.

Seseorang dengan tubuh tak begitu tinggi menghampirinya dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi rapihnya.

"Siapa lo?"

Ya, sayangnya Trisa agak jutek pada orang yang tak di kenal.

Tama sedikit terkejut melihat reaksi Trisa yang jauh diluar perkirannya. Ia pikir Trisa sosok gadis manis yang ramah pada semua orang. Ternyata realitanya sungguh berbanding terbalik.

Berusaha menyingkirkan rasa aneh di otaknya, Tama kemudian duduk di samping Trisa. Tentu saja Trisa menggeser duduknya lebih jauh.

Terkekeh, Tama berkata. "Enggak usah jauh-jauh kali! Disini aja,"

Trisa mendelik tak suka. "Apaan sih? Gue enggak mau deket-deket sama cowok aneh kayak lo. Minggir sana!" Bentak Trisa sangar.

Ternyata, Tama tak pantang menyerah. Ia malah makin penasaran dengan Trisa.

"Masa lo enggak inget gue sih, Tris?"

Kedua bola mata Trisa membelalak. Bagaimana tidak? Ia bahkan lupa siapa Tama tapi Tama mengenal dirinya.

Trisa diam dan mencoba menelaah setiap inci dari Tama. Butuh waktu beberapa detik hingga memorinya bisa mengingat Tama sebagai teman Galih.

"Oh! Lo sahabatnya Galih yang banci itu 'kan?" Ucap Trisa blak-blakan.

Tama memasang muka datar. "Asem. Gue dibilang banci," gumam Tama pelan.

Trisa menghela napas. "Terus lo ngapain ke sini?"

"Ya suka-suka gue lah! Emang ini warung emak lo?" Balas Tama sengit.

"Kalau iya, kenapa?"

"Kalau iya," Tama menutuskan kalimatnya lalu menatap Trisa menggoda.

"Gue mau minta izin ke emak lo buat jadi pacar lo," Tama tesenyum miring.

"Idih! Geli gue jadi pacar orang sinting kayak lo!" Trisa berpindah kursi ke tempat yang lebih jauh dari Tama.

Semenatara itu, cowok yang memiliki rambut jambul tersebut tertawa. "Becanda kali, Tris! Serius amat."

Trisa bergeming tak peduli.

Tama berdiri lalu duduk di kursi plastik sebelah Trisa. Perempuan itu mendecak lagi tapi tak berpindah posisi.

"Kenapa belum pulang?"

PHPWhere stories live. Discover now