29. [Dilla Kembali]

Start from the beginning
                                    

"Gua anter ya."

"Gausah, motor lu besar. Takut jatoh gua. Bye!"

Kanya meninggalkan Ali yang menatapnya tak lepas,

"Misi satu selesai." Ali tersenyum kejam.

🐤

"Bunda pulang." Bunda membuka pintu lebar

"Lah ko sepi yah? Pada kemana?"

"Kan ayah juga baru pulang bun, kenapa nanya sama ayah," deliknya heran.

Bunda tersenyum malu dan segera masuk ke dalam rumah, sementara ayah masih sibuk menurunkan kopernya.

"Ayahhhh ... " Kanya berlari dengan cepat dan segera memeluk ayahnya dengan erat. "Ko pulang ga bilang-bilang, kan Kanya bisa bikin suprise kecil-kecilan."

Bunda menengok keluar, "kita aja mau bikin suprise gagal, jangan bilang pas kami pergi kamu ga pernah belajar? Main terus."

"Sudah bunda biarin aja, kalau dia main."

Kanya tersenyum menang, dan melipat tangannya di depan dada.

"Tapi kalo peringkatnya turun, gadgetnya ayah ambil," sambung ayah seraya melesat melewati Kanya dengan membawa dua koper di tangannya.

Bunda tertawa kecil, sedangkan Kanya mengerucutkan bibirnya dan menatap kesal ke arah bunda.

"Ayah jahattt ... " Kanya meninggalkan bunda yang menutup telinganya karna suara Kanya yang berisik.

"Yahh ... Ayahh," rengek Kanya.

"Kenapa Kanya, ayah lagi beresin ini. Kamu mau bantuin?"

"Bukan, Kanya mau nanya sesuatu." Kanya duduk diantara koper yang berada di atas ranjang ayah dan bunda.

Ayah hanya diam, seraya merapihkan pakaian dari koper ke lemari.

'Ternyata ayah so sweet ya, setau aku beresin pakaian gitu kerjaan bunda.'

"Yah, kalau ayah lagi sama bunda lalu ayah manggil nama cewe lain dan ngejar cewe itu. bunda marah ga?"

"Engga lah, orang partner kantor," sahut bunda yang membawa beberapa bungkusan.

Ayah mengangkat kedua bahunya," ya kamu tanya bunda lah, ayah mah gatau."

Kanya mengambil guling untuk menopang dagunya, "bunda mah bercanda mulu yah, tuh liat malah ngurusin bungkusannya."

"Lagian kamu ngapain nanya begitu? Nih ya, kalau laki-laki manggil nama perempuan belum tentu dia suka. Positif dulu aja, mungkin teman lama, partner kerja, sahabatnya? Jangan langsung marah, kan bisa ditanya dulu." Bunda menjawab namun matanya masih saja sibuk dengan pekerjaannya.

"Ogah ah bun nanya. Gengsi lah," sela Kanya.

"Nah," lanjut ayah.

"Apa yah ikut-ikutan? Tuh kamu liat ayah kamu, kalian tuh sama aja kaya raja dan putri gengsi," ucap bunda yang berhasil membuat Kanya melirik ayahnya. "Udah, ini ada 5 oleh-oleh. Yang satu ini kasih Rizki, yang ini kasih Rani, nah sisanya kasih Reno dan teman-temannya itu," jelas bunda seraya menyerahkan satu per-satu.

"Ngapain sih Rizki di kasih. Udah gausah."

"Gaboleh gitu sama cal,"

"Bunda!" pekik ayah memotong ucapan bunda.

Kanya melirik bergantian ke arah ayah dan bunda, "cal?"

Bunda segera mengajak Kanya keluar dari kamarnya dan menutup pintu setelah kanya berada di luar.

"Bunda kebiasaan." ucap ayah seraya menghembuskan nafas lega.

"Bunda, ayah cal apa?" Kanya berteriak dari balik pintu.

"Maksud bunda calon siswa terbaik," pekik ayah dengan kuat supaya Kanya mendengar.

"Calon siswa terbaik? Apa hubungannya? Ayah sama bunda aneh banget." Kanya meninggalkan kamar bunda.

🐤

Kanya membuka jendela kamarnya membuat udara yang masuk seketika menyapu rambutnya yang telepas tanpa ikatan.

Kanya membuka jendela kamarnya, membuat udara yang masuk seketika menyapu rambutnya yang telepas tanpa ikatan. Senja yang indah memanjakan matanya, begitu indah anugrah sang Pencipta.

"Apa bunda benar?" Kanya membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya yang tegak menatap ke luar jendela. "Tapi dia bilang dia tidak pernah mendekati siapapun selain aku. Lalu siapa dilla? Riki, kenapa kamu buat aku bingung begini." tangannya menjambak horden.

Kanya menghampiri cermin, memperhatikan wajahnya yang tidak menyimpulkan senyum sedikitpun, tangannya mencoba membuat senyuman pada wajahnya, masing-masing jari dia sematkan di pipinya, membuat senyuman terpaksa disana, "sebentar, kalung aku mana?"

Tangannya meracau, menyeret tas sekolahnya dan semua barang yang ada didalamnya berhamburan di atas ranjangnya, tak peduli apa yang buku-bukunya jeritkan, dia hanya butuh menemukan kalungnya. "Ini dia."

Kanya membuka pengait kalungnya dan menyematkan pada boneka Doraemon pemberian Rizki saat mereka kecil, "aku titip di kamu dulu yak, kalau semua sudah jelas, aku akan minta kalungnya dari kamu lagi. Di jaga ya," perintah Kanya pada boneka kesayangannya.

Walau dilihat dari akal sehat sikap Kanya berbicara pada boneka adalah aneh, namun bukan karna dia gangguan jiwa, tapi karna Kanya sangat peduli dengan siapapun, bahkan benda mati.

🐤

[Chapter 30] 👉

PARTNERWhere stories live. Discover now