9. Harga Pernikahan

26.9K 1.8K 73
                                    

       

Fashion  show  rancanganku di  New  York  kemarin  rupanya  menarik  perhatian  para  konsumen  di  dalam  negeri. Sudah  hampir  tiga  hari  aku  kerja  rodi  melayani   para  pelanggan  yang  memintaku  langsung  untuk  mendesain  gaun  atau  setelan  untuk  mereka. Biasanya  aku  hanya  mendapat  satu  atau  dua  pelanggan  tiap  tiga  hari, tapi  kali  ini  aku  bisa  melayani  tiga  dalam  sehari.

Kantong  mata  sudah  tidak  bisa  diatasi  lagi  walaupun  aku  menggunakan  concealer mahal  sekalipun.  Banyaknya  pesanan  membuatku  berinisiatif  untuk  membawa  patung-patung  rancangan  ke  rumah  dan  mengerjakannya  saat  pulang  dari  butik  supaya  target  berhasil  terkejar.

Seperti  sekarang  ini, aku  duduk  di  hadapan  klien  yang  ingin  aku  merancang  gaun  untuk  pesta  ulang  tahunnya.  Ini  sudah  klien  yang  kedua  dalam  hari  ini. Sebentar  lagi  waktu  makan  siang, tapi  klienku  seakan  belum  berhenti  memberi  usulan  untuk  gaunnya.

"Aku  mau  yang  ketat  dibagian  pinggang  sampe  lutut  ya, Kak,"

Tanganku  semakin  cekatan  menggambar, "seperti  ini?"

Ia  mengangguk. "Iya-iya  bagus  tuh."

Aku  tersenyum, kemudian  menuntaskan  sketsa  gambar  itu  dengan  taksiran  harga  yang  ku  tuliskan  dibagian  pinggir  bawah  kanan.

"Biar  saya  antar  ke  kasir," tawarku  dengan  sangat  ramah.

Kami  melangkah  menuju  kasir, setelah  memberikan  gambar  pada  kasirku  dan  mengucapkan  terima  kasih  pada  klien, aku  kembali  melangkah  menuju  ruangan.

Soal  pembayaran  selalu  ku  percayakan  pada  kasir, jika  sang  kasir  berani  mencatut  uang  butik, maka  Marvin  sebagai  asistenku  yang  merangkap  menjadi  pengurus  keuangan  butik  pasti  akan langsung  mengetahuinya. Jadi, aku  tidak  begitu  khawatir  tentang  uang.

Baru  saja  mendaratkan  bokong  di  atas  kursiku, layar  tipis  merah  di  atas  meja  bergetar. Menandakan  ada  panggilan  masuk.

Barra  is  calling...     

Tanpa  pikir  panjang, aku  segera  mengangkat  panggilan  itu.

"Halo?"

"Halo, Kai,"

"Iya. Kenapa, Barr?"

"Gue  barusan  udah  survei  tempat, di  Balai  Sudirman. Dan  bagusnya, mereka  belum  ada  yang  booking  tanggal  empat  September. So?  Lo  beneran  udah  fix di  sini?"

"Iya  gue  beneran  jadi  kok. Berapa  dp  gedungnya? Mau  gue  transfer  kapan? Kalo  bisa  lo  totalin  aja  sama  dekor  dan  keperluan  yang  lain, kaya  MC  dan  dancer . Biar  gue  enak  bayarnya  sekalian."

"Uhm, lumayan  sih  harganya. Gue  belom  coba  cek  MC  sama  dancer. Tapi, soal  dekor   dan  cathering  gue  udah  dapet  harga  pasnya  setelah  gue  tanya-tanya  tadi. Biar  lebih  enaknya, gue  SMS  aja  harganya, gimana?"

"Oh, boleh-boleh. SMS  aja  kalo  emang  gamau  ucapin."

"Oke, gue  tutup  dulu  ya  telfonnya."

"Iya,"

Tidak  lama  setelah  sambungan  kami  terputus  aku  menerima  SMS  dari  Barra  berisi  tentang  nominal  harga  yang  sukses  membuatku  menghembuskan  nafas  pasrah. Ada  Sembilan  digit  angka  di  sana. Sekarang  aku  tahu  kenapa  orang-orang  selalu  menunda  menikah  dengan  alasan  'belum  ada  modal'.

Women's PerspectiveWhere stories live. Discover now