6. Memang Sebenci Itu

27.2K 1.9K 41
                                    

Saat langkah pertama masuk ke dalam rumah, harum dari aroma terapi sudah menyengat hidung. Papa memang suka aroma terapi dari dulu, aroma teh campur lavender adalah favoritnya. Sedikit banyak aku masih ingat tentang pria itu.

"Duduk, Kak. Biar aku panggil Papi dulu." Hatiku sedikit mencelus saat gadis itu menyebut papa dengan papi. Entah kenapa aku merasa cemburu dan tidak suka. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatku cemburu. Mungkin senyum gadis kecil itu saat mengeluarkan kata 'papi'. Senyum itu tidak pernah terlukis di wajahku saat aku seumuran dia. Bahkan saat ada orang lain yang menyinggung soal papa, aku akan langsung marah. Sebenci itu aku padanya.

Mataku menyusuri setiap sudut ruang tamu ini. Rumah yang tidak terlalu besar dibandingkan rumahku sekarang ini terasa hangat dan nyaman. Aku benci hal ini. Pria itu tampaknya telah bahagia sekarang dan memiliki keluarga harmonis seperti apa yang aku mau dulu.

"Rom,"

"Iya?"

"Kamu suka aroma terapi?"

"Suka,"

"Aku engga."

Romeo menatapku bingung. Tapi ia tidak terlihat ingin menambahi omonganku. Mungkin aku terlihat aneh sekarang, jadi dia malas mengajakku bicara.

Pria paruh baya dengan tongkat kayu itu datang menghampiriku dan Romeo. Gadis kecil tadi menuntun tangan satunya yang tidak memegang tongkat, sementara di belakangnya sudah ada wanita yang kisaran umur kepala empat membawa nampan berisi teko dan cangkir.

Deg.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Ini pertama kalinya aku bertemu pria itu setelah belasan tahun. Banyak yang berubah darinya. Terutama warna rambut dan kumis.

Reflek aku menundukan kepala. Tidak sanggup bertatapan dengannya. Luka yang semula sudah kering itu seakan basah kembali.

"Selamat siang, Pak. Saya Romeo." Romeo bangkit dari duduknya dan menyalami tangan orang yang dulu ku panggil papa.

"Siang juga. Saya Khalid." Untuk pertama kalinya aku mendengar suara dia secara langsung, tidak melalui telepon. Bahkan saat meminta alamat aku tidak banyak bicara, dan mendengarkan bagian saat ia mengucapkan alamat saja. Ucapan-ucapan lainnya tidak ku dengarkan dengan baik.

"Siang, Bu." Romeo juga tampak menayalami tangan wanita yang membawa nampan itu.

Sekarang semua mata tertuju padaku. Termasuk mata pria paruh baya itu.

"Kaia," sentuhan lembut di pundak membuat emosiku sedikit mencair dan aku mencoba berdamai dengan diri sendiri untuk tidak mementingkan ego kali ini.

Aku berdiri, "Siang. Saya Kaia." Aku menyalami tangan wanita itu lebih dulu, baru menyalami tangan pria paruh baya di sampingnya.

"Silahkan duduk," ucapnya lembut. Seingatku pria ini tidak pernah berkata lembut padaku, Darren, dan mama dulu. Mengapa sekarang mendadak berubah? Ck! Lucu.

"Diminum ya. Maaf cuma bisa sediain ini." Wanita yang tampak lembut dan ramah.

"Iya, makasih." Romeo kembali menanggapi dengan sopan.

"Jadi, ada perlu apa kalo saya boleh tau?" pria itu kembali buka mulut.

"Ah itu, saya dan Kaia akan segera menikah,"

Women's PerspectiveWhere stories live. Discover now