3.Pilot irit ngomong

34.8K 2.1K 66
                                    

Kantin rumah sakit menjadi tempat pilihanku untuk menginterogasi Mama soal perjodohan sepihak itu.

"Kenapa Mama ga coba nolak perjodohan itu sebelum Oma ngomongin ke aku?"

"Kamu tau kalo nolak kemauan Oma itu kaya bikin dosa besar buat Mama. Jadi ga mungkin Mama bilang gak."

Merasa jengkel, aku menghembuskan nafas kasar sembari memutar bola mata jengah. Oma itu memang seperti ratu yang punya pangkat jendral, tidak seorangpun dari anak dan cucunya yang berani menolak perintah nyonya besar. Walaupun cucu-cucu Oma yang lain tidak ikut membiayai kebutuhan Oma seperti aku, tapi jika Oma memerintah mereka, maka tidak akan ada kata 'tidak'.

"Karir Kaia lagi bagus-bagusnya, Ma. Tanggung jawab Kaia sama karir sendiri aja udah berat, belum lagi tanggung jawab sama Mama, Oma, Darren. Kalo Kai nikah, tanggung jawabnya makin banyak. Aku belum siap, Ma, nambah tanggung jawab."

Mama menyedot jus stroberinya dengan tenang, ia seperti merasa tidak bersalah atau tidak enak padaku. Hal ini membuatku mendecak sebal karena Mama tidak memperhatikan ucapanku dengan baik.

Melihatku yang sangat gusar, mama melepas sedotan dari bibirnya. "Kai, Oma itu jodohin kamu bukan untuk nambah beban hidup kamu, tapi justru biar kamu punya seseorang yang bisa berbagi segala hal. Jadi, kamu jangan mikir yang jelek-jeleknya dulu."

Aku menghela nafas pelan. Sebenarnya, alasan aku sangat ingin menolak perjodohan ini karena aku takut dengan pernikahan. Bukan, bukan pernikahannya yang ku takuti, melainkan lawan kata dari penikahan itu sendiri, yaitu perceraian.

Mama menjadi single parent sejak aku umur delapan tahun dan Darren yang baru menginjak dua tahun. Mama dan Papa cerai karena masalah ekonomi. Papa tidak pernah memberikan tanggung jawabnya sebagai suami, yaitu nafkah pada Mama dan kami. Hal ini membuat Mama geram dan menceraikan Papa. Di samping itu juga tingkah laku Papa yang sering membentak membuat Mama jengah.

Dari situ Mama menghidupiku dan Darren seorang diri. Kemudian Oma membantu Mama dengan mengajak kami tinggal di rumahnya. Oma yang belum terlalu tua saat itu juga membuka jasa jahit di rumah, uang yang ia hasilkan selalu disisihkan untuk keperluan mendadak aku, Darren, Mama, atau dirinya sendiri.

Melihat perjuangan Oma dan Mama membuatku bertekad untuk jadi seseorang yang berguna dan tidak mengandalkan orang lain. Aku bahkan pernah berpikir untuk tidak menikah, karena aku yakin bahwa aku mampu menghidupi diriku sendiri. Aku tidak butuh suami untuk menafkahiku. Terdengar naïf memang, tapi itu yang benar-benar ada di pikiranku jika orang lain mulai menyinggung soal pasangan hidup padaku. Walaupun, tidak seorangpun tau bahwa aku memilki pemikiran aneh seperti ini.

"Kai," Mama menepuk punggung tanganku pelan. Menyadarkanku dari pikiran yang melalang buana.

"Kamu mikirin perjodohan Oma?"

Aku mengangkat kedua bahuku, "ya gitu."

"Ga usah dipikirin, nikah ga se-menyeramkan itu kok, Kai."

Aku menatap Mama lekat. Jika tidak se-menyeramkan itu, maka seharusnya Mama dan Papa tidak akan bercerai kan?

Mama yang sadar dengan tatapan mataku pun menghela nafas, "pernikahan buruk itu ga turun-temurun, Kai. Mungkin Mama gagal di hal itu, tapi bukan berarti kamu juga."

Women's PerspectiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang