- Empat -

43.7K 6.8K 577
                                    

Hari pernikahan itu datang, setelah sekuat tenaga aku menolak kehendak Eyang, papa dan mama, namun semua usahaku menolak itu bagai mengecat es batu di tengah lapangan bola saat Matahari sedang terik - teriknya, alias sia - sia.

Perias pengantin yang sudah siap sejak Subuh tadi, sedang merayu untuk mendadaniku. Sementara, mata panda dan sembabku belum juga hilang. Airmata terus menerus mengalir. Meskipun semalam Desti dan Bowo datang menghiburku, semuanya tak memberi pengaruh apapun. Aku hanya ingin pernikahan ini tidak terjadi.

Dan Elang? Dia pun hanya mengatakan maaf saat aku mengiriminya pesan tentang 'bencana' ini.

Tidakkah mereka tahu, aku menjaga diri untuk suamiku kelak? Suami yang menikahiku karena mencintaiku, bukan karena bersedia memberikan lehernya untuk dinikmati para tetua.

Demi apapun, aku benci Elang!

Sebagai pria, dia seharusnya bersikap tegas dan berani memperjuangkan cintanya dengan Alya. Bukan malah pasrah dan terkesan tidak peduli dengan kepergian Alya.

Dan aku? Ya ampun! Demi apa, aku harus rela malam pertama dengan orang yang enggak aku cinta? Duh Gusti! Ini Elang bisa ditukar Bowo saja enggak sih?

"Kak!" Mama berdiri di pintu kamarku, menginterupsi segala gerutuan dalam kepalaku. Mama mendekat dan memelukku dari belakang. "Maafin Mama, papa dan Alya. Maafkan kami, sehingga kamu harus melakukan ini."

Mama menangis.

Aku ingin marah pada mama, ingin mencaci maki segala perlakuan mama yang terlalu memanjakan Alya sehingga ia bersikap semena - mena seperti sekarang ini. Tapi, itu tidak akan membuat Bapak Penghulu membatalkan pernikahan ini kan?

"Jadi istri yang baik ya, Kak, untuk Mas Elang. Pernikahan ini adalah ibadah, lakukan dengan ikhlas ya, Kak. Mama mohon." Hatiku seperti dicubit mendengarnya.

Bagaimana bisa mama membawa - bawa sisi relijius dalam diriku, jika kehendaknya saja dalam konteks memaksa. Bukankah Tuhan pernah berfirman, tak ada paksaan dalam agama?

"Kak, maafkan kami. Mama doakan kalian berdua menemukan bahagia, dalam jalan perjodohan ini."

Aku berdecih secara terang - terangan. Bahagia apa yang mama maksud? Kebahagiaanku adalah kebebasan memilihku. Jika dalam memilih pasangan hidup saja aku sudah terpaksa, bagaimana bisa kuraih bahagia?

Mama mencium puncak kepalaku lama. Sedangkan airmata terus - menerus mengalir tanpa henti dari kedua mataku.

"Aku berdoa, semoga, Mama lebih menyayangiku setelah apa yang kulakukan ini."

Mama yang hendak keluar, menghentikan langkahnya. Mama berbalik dan memelukku lagi, sambil menangis.

"Maafkan Mama, Kak. Mama selalu sayang sama Kakak. Mama sayang kalian bertiga. Sumpah, Mama tidak pernah bermaksud pilih kasih."

"Mama jelas - jelas pilih kasih. Bahkan dari aku lahir, Mama lebih memperhatikan Alya. Sementara aku, lebih sering dikira anak Bu Ami." Cecarku tanpa ampun.

Bu Ami adalah pengasuhku sejak bayi. Beliau sendiri yang bilang, saat aku lahir, Alya baru berusia satu tahun dan sedang rewel - rewelnya. Sehingga Mama hanya memegangku ketika memberi asi, selebihnya, Mama akan lebih memperhatikan Alya. Dan itu terjadi hingga aku dewasa. Teman - teman sekolahku selalu mengira bahwa Bu Ami-lah ibuku. Dan aku akan selalu mengiyakannya. Toh, aku lebih sering bermanja - manja dengan Bu Ami daripada Mama. Mungkin nanti, aku akan sungkem pada Bu Ami alih - alih sungkem pada Mama.

"Kak--"

"Sudahlah, Ma. Aku tahu nikah adalah ibadah, aku enggak akan aneh - aneh. Perusahaan kita bersatu dengan Perusahaan Om Gagah, aku menikah dengan anaknya. Papa dan Mama tidak kehilangan muka dan Eyang akan bahagia, sehingga umurnya semakin panjang." Aku memotong kata - kata Mama dengan sinis yang nyata.

Ini Serius? [Complete]Where stories live. Discover now