- Dua -

46K 6.7K 331
                                    

Aku sedang memainkan hiasan jam pasir di meja baruku.

Ya, sekarang aku menempati meja baru. Posisi baru. Di divisiku. Sebelumnya, ada Bu Hesti yang mengundurkan diri karena ikut suaminya yang pindah tugas ke Kalimantan.

Masih di ruangan yang sama dengan divisi General Affair, hanya saja ruanganku berada di dalam dan terpisah. Sedangkan beberapa staf GA, berada di luar ruanganku.

Pintu diketuk, aku pun mempersilakan siapapun yang berdiri disana untuk masuk. Elang tersenyum canggung dan berjalan menghampiriku.

"Wah, ada angin apa nih Direktur Keuangan mampir ke kantor saya?" Tanyaku bercanda.

"Pertama, mau ucapin selamat. Aku baru lihat di E - Chart, nama kamu naik." Elang mengulurkan tangan yang kusambut jabatannya.

Aku mencibir padanya, "halaaah. Mas Elang terlalu sibuk sampai kenaikan jabatan saja, lihat di E - Chart."

Dia tertawa.

"Enggak juga, Py. Cuma memang sepi banget berita tentang kenaikan kamu, di atas." Kilahnya.

Di atas yang dimaksud adalah di kalangan jajaran para petinggi. Tentu saja sepi, memang siapa aku?

"Iyalah sepi, cuma Happy kok. Bukan Diandra atau Livia yang jadi objek berita." Nyinyirku.

Dua perempuan itu adalah Primadona dalam Perusahaan ini. Yang kerjaannya dandan sepanjang hari, tapi entah bagaimana caranya, terlihat berprestasi di kalangan makhluk berbiji.

Elang mengulurkan tangan, mencubit pipiku dengan keras.

Ini kebiasaan lama, jika saja ada Alya di antara kami, aku dan Elang memang sering bercanda seperti ini.

Tapi suasana kali ini menjadi canggung, mengingat apa yang dikatakan papa kemarin malam. Aku pun menarik diri dan Elang seolah membetulkan letak dasinya untuk mengusir kecanggungan yang mengudara.

"Maaf, Py. Uhm, soal kemarin yang Om Latief katakan--"

"Aku enggak akan mau, Mas. Tenang saja." Potongku.

"Kenapa?" Elang bertanya bingung, badannya dicondongkan sedikit ke arahku.

"Tentu saja karena pacar Mas Elang adalah mbak Alya, mana mungkin aku menggantikan dia. Mbak Alya pasti pulang, dia hanya perlu menenangkan diri." Hiburku.

Meski kuakui, keraguan menghantam hatiku.

Ah Alya, dia bukan orang pengecut yang melarikan diri tanpa sebab yang merundung hatinya. Pasti ada sesuatu.

Elang menghela napas, "sebenarnya hubungan aku dan Alya tidak seindah kelihatannya, Py."

"Maksud Mas Elang apa?"

"Beberapa tahun belakangan Alya berubah, aku juga enggak tahu karena apa. Tapi yang jelas, ada orang lain yang dipikirkan Alya. Itu bukan aku.

Memijat kening, aku kehilangan kata - kata pada pria yang sorot matanya meredup di depanku.

"Tapi, Mas Elang masih mencintai mbak Alya kan?"

Ia tersenyum sedih, "dua belas tahun aku mencintai mbak-mu, Py. Akan sulit melupakannya." Jawab Elang dengan jujur.

"Jadi, jelas. Kita tidak bisa menerima keputusan papa untuk menikah." Tutupku, final.

"Py, posisiku juga lemah dan sulit untuk menolak. Sepertinya om Latief dan ayahku sedang berbicara saat ini."

Papa!

"Tapi Mas, ini tuh pernikahan. Dikira main Badminton kali, bisa diganti."

Elang tertawa miris. "Sayangnya hidup kita bahkan lebih menyedihkan dari sekedar bermain badminton, Py. Kita tidak punya pilihan."

Ini Serius? [Complete]Where stories live. Discover now