4 - Cor Unum

112K 13.6K 1.2K
                                    

Cor Unum - One Heart

*

Saat Risa masuk ke kelas Biologi selepas jam makan siang, reaksi pertamanya adalah mendengus keras. Bukan karena Risa tidak suka pelajaran Biologi, meski dia penasaran apa pentingnya menghapal fungsi sklerenkim dan klorenkim tumbuhan jika dia tidak punya cita-cita jadi ahli botani di masa depan. Tetapi karena mata milik Nedia Diwangka langsung terarah padanya di detik pertama sepatunya melewati ambang pintu.

Sial, Risa memaki dalam hati.

Terimakasih untuk kemalasannya belajar Biologi di pagi hari dan tidak adanya peringatan dari Basil, kini dia harus berada dalam kelas Biologi yang sama dengan Nedia dan Denzel. Di sekolah ini, terdapat beberapa slot kelas dari setiap mata pelajaran dengan pengajar yang berbeda. Tujuannya supaya siswa bisa menyusun sendiri jadwal pelajaran mereka—dengan berbagai pertimbangan, mulai dari karakter pengajar hingga waktu masing-masing slot agar tidak berbenturan dengan waktu mata pelajaran lain. Basil dan Persie mengambil kelas Biologi pada jam pelajaran pertama dari hari Senin, sedangkan Risa mengambil slot pada jam pelajaran terakhir di hari Jumat.

"Udah nggak ada kursi kosong lagi." Nedia berkata saat Risa berjalan melewatinya, lalu cewek itu menunjuk kursi kosong di sebelahnya dengan pandangan mata. "Lo bisa duduk disitu."

Tau jika dia tidak punya pilihan lain, Risa akhirnya menurut.

"Itu artinya kita bakal jadi teman sekelompok."

"Hah?"

"Iya. Teman sekelompok. Hari ini Pak Siahaan bakal ngasih tugas baru. Tentang penelitian Hukum Mendel lewat kacang kapri."

"Crap."

"Jangan khawatir, Trisha. Lo bukan cuma bakal sekelompok sama Neddy, tapi juga sama gue."

"Itu jelas berita buruk." Risa melengos, mengabaikan satu kedipan mata genit yang Denzel arahkan padanya. Cowok itu mungkin memang punya tampang di atas rata-rata, tapi kelakuannya yang sok kegantengan benar-benar bikin Risa mual. Untung saja tidak sampai sepuluh detik kemudian, Pak Siahaan masuk ke kelas. Beliau langsung menerangkan bab tentang Hukum Mendel dalam logat khas Suku Bataknya yang kental.

Pak Siahaan punya cara yang menyenangkan untuk menjelaskan materinya, kadang laki-laki itu juga melakukan gerakan-gerakan serupa magic yang mampu membuat beberapa benda melayang di udara kosong seperti tertahan oleh medan tak kasat mata. Pada hari-hari pertamanya di sekolah ini, Risa memang dibuat takjub. Tapi sekarang tidak lagi. Dia justru mulai bosan.

Sepanjang jam pelajaran berlangsung, Risa lebih banyak menatap ke luar jendela, memandang pada langit yang redup. Awan berarak disana, tampak kelabu. Mungkin hujan akan turun seperti hari-hari kemarin. Risa mengembuskan napas, membiarkan detik demi detik lewat seperti pasir yang yang berjatuhan dari sela jemari. Lalu begitu bel tanda jam pelajaran berakhir, cewek itu langsung mengumpulkan buku-bukunya.

"Buru-buru banget, Trisha?" Ah, itu suara Nedia. Lagi.

"Apa gue wajib jawab pertanyaan lo?"

Sorot mata Nedia berubah sedih. Hanya sebentar, tapi entah kenapa membuat sebersit rasa bersalah timbul di benak Risa.

"Lo tau, lo bakal kelihatan lebih cantik kalau lo kurangi sifat jutek lo itu sedikit aja."

"Sori ya, tapi gue juga berminat dianggap cantik sama lo. Jadi makasih untuk sarannya, tapi gue lebih suka jadi diri gue yang biasa."

"What an arrogant Halfie."

"Terserah lo aja mau ngomong apa."

"Trisha, maafin Denzel. Lo benar. Gue memang nggak seharusnya mencampuri urusan lo."

NOCEUR: LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang