Bagian 26

715 40 0
                                    

"Apa yang kamu lakukan?" Faya menggerakkan seluruh tubuhnya agar tali yang mengikatnya lepas. Usahanya sia-sia. Kendur pun tidak. Justru membuat goresan memerah pada kulitnya. Tentu membuat kulitnya terasa panas dan perih.

Tidak ada sesuatu yang membantu. Tubuh Brigita lemas tepat di depannya. Ia tidak sadarkan diri. Dilihat dari tampilannya, Brigita tampak lebih buruk dengan kondisinya saat ini.

"Sial..." Faya mendesis kasar. Diandra tidak mempedulikannya. Bahkan meliriknya pun tidak. Ia masih sibuk dengan tongkat di tangannya.

"Kamu benar-benar sudah gila, Ndra! Apa yang merasukimu, huh?" Faya sudah tidak tahan lagi. Ia terus menyumpah sejak Diandra membawa ke ruangan super pengap itu.

Kali ini Diandra tersenyum. Sinis. Dia mungkin sedang memikirkan cara untuk menghabisinya. Oh lihatlah, dia sekarang berjalan mendekati Faya. Dia benar-benar bukan Diandra. Tatapan mata kebenciannya, juga senyumnya.

Jari telunjuknya teracung ke depan lalu menempel tepat di pelipisnya. Bergerak ke bawah hingga ke dagu Faya.

"Jangan buat aku marah. Harusnya kamu berterimakasih. Jika aku tidak berbaik hati, mungkin sekarang kamu sudah lebih buruk darinya." Ujung matanya melirik ke arah Brigita yang sedang tertunduk. Matanya tertutup rapat.

"Kamu yang mengirimi surat ancaman itu, kan? Apa karena R..Rhe..a?"

"Ternyata kamu tidak sebodoh yang aku kira," Diandra berucap. Intonasi suaranya masih terdengar datar. Dia bahkan tidak gugup karena melakukan kejahatan.

"Rhea tidak akan menerimamu, Ndra. Lihatlah dirimu sekarang! Kau tampak menyedihkan." Suara lirih seseorang dari belakang Diandra.

Tata sudah sadar. Meski ia tak sanggup memberontak, setidaknya ia masih bisa berbicara.

Ucapan Tata membuat perubahan tingkah Diandra. Ia terlihat marah. Tingkatnya terangkat naik, mengayun ke belakang. Tata merapatkan giginya untuk menahan rasa sakit yang akan ia rasakan. Sedangkan Faya berteriak histeris.

Bruakkkk!

Pintu gudang terbuka. Engselnya hampir copot dari daun pintu. Rhea membeku di depan pintu, shok dengan hal yang diliihatnya. Tongkat panjang itu jatuh membentur lantai hingga menyadarkan Rhea.

"Kamu..."

"Rhea..."

"Kamu benar-benar gila, Diandra!" Rhea berucap marah.

Diandra hampir tidak bisa berkata lagi. Dia diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian dia berbicara, "Sudah kubilang berulang kali, aku gila karena kamu, Rhea!" Diandra memekik keras. Ia seperti hilang kendali. Melemparkan barang-barang di sekitarnya dan menatap orang lain dengan mata tajam.

Setelah merasa tenang Diandra menggerai rambutnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Satu tangannya terangkat naik. Menutupi bagian bawah wajahnya.

"Kau ingat siapa aku, Rhea!"

"Apa yang kamu lakukan?" Rhea bertanya tak mengerti. Apa yang Diandra lakukan?

"Jawab Rhea!"

"Ki-kinara?"

"Kau tahu, cuma kamu yang peduli kepadaku!"

Beberapa tahun silam, ketika Rhea menginap di rumah Sukonto.

Di sebuah ruangan dengan kursi berukir, duduklah laki-laki muda dengan baju lusuhnya. Mungkin sudah tidak berganti selama beberapa hari.

Seorang lelaki dengan garis wajah tegas menghampirinya, mengusap rambutnya dengan kasih sayang. Ia membawakan baju ganti untuknya.

"Tenanglah, Andrea, sebentar lagi ayahmu akan menjemputmu," ucap lelaki itu.

Orang yang di panggil dengan nama Andrea tidak menyaut, hanya memandangannya dengan tatapan kosong. Namun, pandangan matanya kemudian teralihkan pada pintu yang tiba-tiba tertutup saat Rhea menoleh ke arahnya.

Dia lagi.

Suatu hari dia mengintipnya dari balik pintu kamarnya. Rhea tengah berdiri di depan pintu melihat dengan jarak yang lebih dekat dari biasanya. Dia langsung menutup pintunya keras-keras.

"Apa yang kamu lakukan di dalam sana?" Tanya Rhea.

Tidak ada jawaban.

"Ayah dan ibumu selalu menghampirimu disana. Pasti kamu merasa beruntung memiliki orang tua seperti mereka."

"Kamu fikir begitu?" Suara lirih perempuan. Terdengar bergetar, "ayah dan ibuku memang berbuat baik kepadaku. Tapi tahukah kau? Mereka menganggapku gadis aneh!"

"Kamu hanya berbeda."

"Berbeda?"

. . .

"Kamu melupakan itu, Rhea!"

Rhea tersenyum tipis, "itu hanya percakapan anak kecil dan kau mempercayainya? Waktu itu umurku baru tujuh tahun. Aku bahkan sudah melupakan kejadian itu."

Diandra maju beberapa langkah. Mendekat. Menatap Rhea dari jarak yang teramat dekat.

"Sadarlah, Diandra!"

Berandal Buana [END]Where stories live. Discover now