Bagian 2

2K 84 1
                                    

"Serang!!!" teriak pemimpin yang berjalan memimpin anak buahnya. Ia berjalan mendahului teman-temannya. Memandang satu arah. Tatapannya tajam, seakan-akan ada dendam yang harus dibayarkan.

Perkelahian pun tak bisa di cegah lagi. Satu sama lain saling menyerang, mempertahankan gelar terbaik dibandingkan geng-geng lainnya. Harga diri yang menjadi taruhannya. Dihormati atau menghormati. Mungkin pilihan yang mudah bagi beberapa orang, tapi tidak untuk kedua geng besar itu. Bagi mereka menghormati adalah mati. Harga diri adalah harga mati yang harus dijunjung tinggi. Sebagai geng yang ditakuti mereka tak akan mudah melepas gelar tersebut.

Tempat yang semula sepi itu kini menjadi tempat perkelahian dua geng besar. Satu sama lain saling menyerang tanpa sedikit pun belas kasihan. Satu demi satu pukulan mendarat di tubuh lawannya. Setiap ia lengah pukulan lain meninju badannya. Seseorang yang telah mengalahkan lawannya membatu yang lainnya.

Hujan deras siang itu tak menyurutkan kedua belah pihak. Tak ada seorang pun yang mau mengalah. Walaupun sudah banyak darah segar yang mengalir dari tubuh mereka. Baju sekolahnya merubah warna. Luka memar di badannya tak membuatnya tumbang.

Geng Estaka adalah musuh bebuyutan Geng Buana. Geng Estaka terkenal kejam dengan jumlah anggota yang banyak. Juga kemampuan perang mereka yang tak terkalahkan. Selain itu mereka adalah tangan kaki seorang preman terkenal. Tak mudah untuk mengalahkan mereka.

"Rhea..." suara itu terdengar dari belakangnya disertai dengan tawa berat khas perokok. Ia segera berbalik dan mendapati seorang berpawakan besar dan berjenggot tebal. Usianya kurang lebih empat puluh lima tahun.

"Kemampuan lo makin lama makin hebat!"

"Sukonto! Lo masih hidup?" tanyanya sembari tersenyum kecut.

"B*ngs*t! Lo kira gue bakal mati? Memalukan! Seorang bajingan sepertiku tak akan mati konyol seperti bayanganmu." Kata lelaki itu.

Rhea mengepalkan kedua tangannya. Emosi yang makin lama-makin memuncak. Tatapanya begitu tajam dan penuh dendam yang takkan terbalaskan. Seperti ada kekesalan yang tak akan ada habisnya.

"Tentang kasus Satria, apa lo sekarang mau ngaku? Ha?!" nadanya semakin lama semakin tinggi. Telah lama ia menunggu saat itu. Menanyakan kepada seorang terpidana kasus dua tahun silam. Lima bulan yang lalu, ia telah menanyakan hal itu. Tapi sia-sia saja, Sukonto tak mengakui bahwa ia telah membunuh Satria. Saat itu mungkin pertemuan terakhirnya dengan Sukonto.

"Lo mau ngaku sekarang? Aku yakin, hidup kamu sekarang penuh dengan penyesalan. Dan saat ini kamu mau mengakui semuannya."

Air muka Sukonto berubah seketika. Namun pada detik berikutnya suasanya kembali seperti semula. Ia memandangi orang yang berada tepat di depannya. Seperti tak terima apa yang anak itu lakukan.

"Cuh," Sukonto meludah, "sial! anak ini benar-benar memojokkanku dengan cara kekanak-kanakkan," umpatnya, "gue bukan orang yang nyia-nyiain hidup untuk mengurusi hidup matinya seseorang. Toh suatu saat nanti dia bakal mati dengan sendirinya. Dengan caranya sendiri!"

"Sukonto, jangan bicara seenak jidat lo ya! Mungkin bukti mengarah kalo Satria bunuh diri. Tapi suatu saat rahasia itu bakal terbongkar!" ancam Fandi.

"Semuanya sudah terbongkar saat polisi mengatakam kasus ini murni bunuh diri," elaknya, "lagian kenapa kalian ngotot kalo gua pembunuhnya? Apa buktinya?" senyumnya kembali muncul. Senyum penuh misteri.

"Kematian wanita itu!" Rhea memojokkannya, "istrimu!"

Sukonto terkesiap, "hajar mereka! Ingat jangan sampai ada nyawa yang melayang!" Sukonto meninggalkan mereka setelah meninggalkan senyuman sinisnya. Penuh kemenangan. Namun, dari sorot matanya terdapat sebuah misteri yang sulit untuk dimengerti. "Jangan kira gue nggak tahu, kamu juga memiliki seorang yang sangat kamu sayangi. Gadis itu juga tak akan pernah menerima bajingan sepertimu," ia tertawa penuh kemenangan.

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang