Bagian 17

661 39 0
                                    

Asap tipis mengepul menutupi wajahnya. Ia masih menunggu salah seorang anak buahnya yang belum datang. Dibandingkan Rhea yang dulu, Rhea yang sekarang lebih berantakan. Padahal beberapa hari ini ia selalu berpakaian rapi (untuk ukurannya).

"Fan, mulai sekarang lo harus ngawasin Faya. Orang itu menyuruh Sino untuk mencelakainya." perintah Rhea sambil memasukkan pion-pion catur yang tercecer.

Fandi menepuk pundak Rhea, "Sialan. Lo berani nyuruh sahabat lo sendiri." Ia bergurau. "Gue pergi sekarang."

"Kemana?" tanya Roland.

"Jagain permaisuri," Kelakar Fandi. "Siapa tahu dia sekarang lagi nyerang prajurit kerajaan sebelah."

Rhea menaikan sebelah bibirnya dan kembali menghirup rokok itu dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Seluruh pikirannya tak dapat ia fokuskan mengingat bayangan Faya yang selalu berkeliaran dalam pikirannya.

"Sino sudah tahu siapa Faya. Cepat atau lambat, ia pasti akan memberitahu Sukonto."

"Bagaimanapun kita nggak boleh mencelakai murid Citra Buana. Aku memang membenci sikapnya, tapi aku tidak ingin dia dicelakai," Roland berucap, "orang lain tidak boleh terluka karena sikap kita."

Ponsel Rhea bergetar, ia segera mencari ponsel yang berada di dalam sakunya dan mengangkatnya. Jonathan.

"Faya dalam bahaya, dia ada di sekolah. Sino dan gengnya akan datang ke sekolah."

Rhea segera membuang putung rokoknya asal. Mereka meninggalkan markas dan bergegas ke sekolah. Rhea segera memacu mobil dengan kecepatan penuh. Ia menginjak pedal gas tanpa jeda. Tak butuh waktu lama untuk sampai di halaman belakang sekolah. Ia pun segera menghentikan mobilnya dan berlari menuju pintu belakang.

Mereka semua berpencar memasuki
seluruh sekolah. Jonathan sekarang juga entah sedang berada di mana. Ia sempat mengirimkan pesan singkat kepada Rhea bahwa ia juga belum menemukan Faya.

Rhea menaiki beberapa anak tangga dari tempat parkir. Sekolah memang sangat sepi. Tidak ada seorang pun. Tidak ada orang di dalam maupun di luar gedung. Rhea menyusuri seluruh ruangan lantai satu, kelas sebelas belajar. Ruangan kelas 11 IPA 2 yang seharusnya menjadi kelas Faya pun tidak ada orang. Faya sudah tidak ada di dalam kelas.

Satu tempat yang mungkin Faya berada di sana. Ia membiarkan peluhnya menetes membasahi tubuhnya. Napasnya sudah semakin memburu. Tenaganya sudah hampir saja habis. Tubuhnya juga sudah mulai melemas. Akhir-akhir ini Rhea lebih mudah capek. Mungkin saja ini adalah pengaruh rasa sakit dalam tubuhnya.

Ia melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga demi tangga sekolah. Dengan kekurangannya ia menjadi lebih lamban untuk berjalan. Ia merasakan rasa ngilu pada kakinya. Rhea berjalan tertatih-tatih menuju atap sekolah. Anak tangga terakhir sudah ia lalui walau sempat hampir terjatuh.

Huft.... akhirnya ia bisa bernafas lega. Seluruh tenggorokannya yang sempat tercekat akhirnya terbuka.

"Dasar gadis bodoh!" umpatnya. Setelah itu ia mengatur jantungnya yang berdegup sangat cepat karena ia berlari cukup jauh.
Rhea masih bersembunyi di balik tembok yang berada di dekat tangga.

Ia melihat cara Faya memandangi ke arah bawah. Tatapan matanya terlihat seperti orang yang sedang kaget. Ia seperti melihat gerombolan preman yang memasuki sekolah.

Rhea segera menyadari apa yang Faya lihat. Pasti Sino dan teman-temannya sudah masuk ke dalam area sekolah. Tanpa berpikir panjang Rhea segera berlari menuju tempat Faya berdiri. Saat Faya berbalik ia berjingkat pelan karena kaget.

"Sttt" bisiknya tepat di telinga Faya. Padahal jika ia berteriak pun mungkin Sino tidak akan mendengar mereka. Mereka masih berada di gerbang sekolah. Sedangkan Faya dan Rhea berada di atap.

Berandal Buana [END]Where stories live. Discover now