Bagian 8

1K 46 0
                                    

Rhea menyenderkan kepalanya di kusen pintu kelas. Pandangan matanya tertuju pada satu titik yang hanya bisa di lihat olehnya. Kakinya mengetuk lantai hingga terdengar bunyi pelan.

Setengah jam lalu, ia sukses membuat Pak Gie marah. Laporan yang harus di laporkan kepada kepala sekolah hari ini dirusak oleh Rhea. Ia tak sengaja menumpahkan minuman ke meja guru. Pak Gie marah besar. Bahkan ia sudah mematahkan dua penggaris mika.

Rhea masih merasa diuntungkan. Ia dihukum berdiri di depan kelas. Sedangkan teman-temannya harus mengerjakan puluhan soal matematika lengkap dengan penyelesaiannya.

"Ini belum pernah diajarkan, pak!" Ucap Fandi sambil mengulak-alik lembaran soal.

"Wuahhh... gue bahkan nggak tahu mau diapakan soal soal ini," sahut Adrian.

"Ini prank, kan, pak?" Roland ikut menambahkan.

"April mob, kah?"

"Kenapa harus ada hukum trigonometri segala coba. Siapa sih yang buat rumus sebanyak ini," sahut teman yang lain.

"Pak, grafik tangennya gimana? Ini kenapa saya ngitungnya pakai dzikir?"

"Ini kita diminta jadi teroris apa penjinak bom, pak! Kenapa kita disuruh ngitung peluang kabel mana yang harus dipotong?"

Semua murid sibuk dengan pendapatnya masing-masing. Ada yang terus-terusan protes minta dikurangi soalnya, eh Pak Gie ngancem nurunin nilai rapot. Ada yang mencoba melarikan diri dari kelas, eh, tiba-tiba Pak Gie dari ujung ruangan ngancem, "Siapa yang keluar sebelum selesai mengerjakan tugas. Saya akan menyuruh kalian menyerjakan tiga kali lipatnya."

"Haaaaaa....." seluruh kelas menyorakinya.

"Jika kalian ribut dan mengelurkan suara sedikit saja, maka saya akan menghukum kalian."

Hening.

Rhea masih dalam posisinya. Hanya saja matanya sesekali melihat ke dalam kelas. Semua itu kesalahannya, tapi teman-temannya yang harus menganggung akibatnya.

"Kalian itu harus jadi anak baik-baik, punya cita-cita yang tinggi. Jangan jadi anak nakal." Ucap Pak Gie sambil menyalin laporannya, "Jangan berkelahi. Berkelahi itu bukan satu-satunya jalan keluar. Memilih damai atau melarikan diri itu lebih baik," terusnya.

Rhea mengedarkan pandangan ke seluruh lorong lantai dua belas. Malas mendengarkan nasehat gurunya. Kata-kata itu sudah ia dengar sejak dulu, ketika perkelahian pertamanya di SMA. Setelah masalah perkelahian Pak Gie akan memberi nasehat memilih teman yang baik.

Rhea kembali mengetukkan kakinya ke lantai. Kali ini ia merasa kakinya pegal. Ia bisa saja meninggalkan tempat itu. Toh Pak Gie masih sibuk dengan laporannya. Siswa-siswa pun sibuk dengan tugasnya,  kecuali beberapa cowok yang duduk di barisan belakang. Mereka terus saja memberi kode kepada Rhea untuk membantu melarikan diri dari kelas. Tapi tiap kali mereka berbisik, tatapan Pak Gie membuatnya diam.

"Pak Giyanta, saya mau izin ke toilet," ucap Fandi setelah mencari-cari alasan yang tepat.

"Saya juga!" Ucap Roland.

"Saya juga!"

"Saya juga!"

"Sa-"

"Bodoh! Cari alasan lain." Fandi uring-uringan.

"DIAM. Kalian tidak diizinkan keluar kelas sebelum jam pelajaran saya berakhir."

Pak Gie keluar dari ruangan sambil membawa map merah tebal. Rhea hanya memperhatikannya. Ia tampak kesulitan dengan barang bawaannya. Bahkan ia hampir menjatuhkan map-map itu.

Berandal Buana [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ