Bagian 9

991 46 0
                                    

Faya berbaring di atas kasurnya. Ia merasakan kepalanya sangat pusing. Tangannya terus meijati pelipisnya. Ia merasakan banyak sekali masalah selama kepindahan terakhirnya. Ia tak pernah mengira semuanya bakal terjadi seperti ini. Semuanya karena berandalan itu.

Pintu terbuka perlahan. Dari dulu ia memang tak pernah mengunci kamarnya.

"Lagi apa?" tanya Fahri yang duduk di sampingnya.

"Tau!" ucapnya acuh. Fikirannya tak karuan, melayang sampai di awang-awang.

"Gimana cowok tadi, apa sudah boleh pulang?"

Faya mengerdikkan bahunya. Ujung matanya sesekali melihat ke arah jendela yang terbuka. Kamarnya berada di lantai dua, jadi ia bisa menikmati cahaya bintang yang bersinar malam ini. Udara sesekali berhembus pelan, membuat tubuhnya sedikit menggigil.

"Fay, kamu bilang dia temanmu. Aku sudah berusaha menghubungi nomor ayahnya, tapi tak pernah ada jawaban."

Faya menoleh, "Ayahnya tak menjawab? Bagaimana dengan nomor yang lain?"

"Untung ada nomor temannya," Fahri menuju ke arah jendela. Ia mengamati kanan kirinya. Faya melihat Fahri mengerutkan dahinya. Sepertinya ia melihat sesuatu di bawah. Tetapi setelah itu, ia menutup jendela.

"Apa ada temannya yang menjawab panggilan abang?"

Fahri mengangguk kemudian tersenyum tipis, "Iya, katannya namanya Fandi. Kamu kenal dia?"

"Tetangga kita. Dia anaknya tante Indri."

Fahri masih mengamati apa yang dilihatnya di luar. Tetapi ia membiarkan matanya berakomodasi maksimal mencari celah untuk melihat sesuatu itu di gelapnya malam. Setelah cukup lama ia mengamati objek tersebut ia berbalik.

Tak ada hal lain yang ia ucapkan. Hal itu membuat Faya merasa sedikit lega. Mungkin yang dilihat Fahri hanyalah kucing yang iseng ataupun perempuan cantik yang menghabiskan waktunya di luar rumah.

"Apa abang percaya kalau dia berandalan?" tanya Faya lemah.

Abangnya mengangguk, kemuadian pergi berjalan ke arah pintu.

"Bang!" teriaknya, "Kenapa abang tahu?"

"Pertama, tadi kita lihat dia pingsan di jalan dan badanya terluka, cukup untuk memastikanbahwa dia dihajar orang. Kedua, selain luka barunya, banyak sekali bekas-bekas luka-luka lama. Yang ketiga, adek bertanya dengan pertanyaan itu. Pertannyaan itu memperjelas bukti-bukti yang ada." Ucapnya berlagak seolah seorang ahli kepolisian.

Fahri mendengus pelan. Ia memandangi sudut ruangan kamar Faya. Kemudian ia menutup matanya, seolah berfikir, "Tadi aku sempat melihat dia membawa sesuatu. Ternyata dia membawa kertas bergambar"

Faya bangun dari tempat duduknya. Ia kemudian mendekat ke arah abangnya duduk.

"Apa?"

"Hati yang rapuh dan berdarah..."

***

Faya melangkahkan kakinya dengan berat. Ia berjalan di koridor depan. Biasanya ia sangat menyukai berjalan di tempat itu, tapi kali ini perasaannya berbeda. Ia tak se-senang seperti biasanya. Bisa dikatakan akhir-akhir ini ia sering terlihat murung dan kurang fokus. Bahkan orang yang dulunya langganan nilai sepuluh, sekarang lebih sering mendapat nilai enam.

Tempat itu adalah tempat pertemuan pertamannya dengan salah seorang murid Citra Buana. Murid itu kini jelas-jelas menjadi musuh besarnya. Rhea tidak pernah memaafkannya. Ia merasa seolah raja alam yang memiliki segalanya dan tak membutuhkan orang lain. Ia berkuasa dan bertindak semena-mena kepada seseorang yang jelas-jelas tidak bersalah-secara teknis.

Berandal Buana [END]Where stories live. Discover now