Bagian 18

661 42 0
                                    

Asap rokok dan bau alkohol memenuhi tempat di sebuah club malam. Suara musik dengan ritme cepat memenuhi ruangan yang cukup luas namun menyesakkan dengan orang-orang yang menari dan berjoget. Seorang DJ memainkan pioneer-nya, beberapa bartender sibuk meracik minuman, dan sebebagian besar pengunjung terbuai dalam fantasinya.

Di sisi lain ruangan itu terdengar suara dentingan gelas yang beradu di susul dengan suara lirih tegukan sang empunya minuman. Samar-samar terdengar gumanan tidak jelas dari lelaki tua berusia pertengahan empat puluhan. Suaranya terdengar berat dan mengerikan.

Tepat di depannya, seorang anak muda umur dua puluh lima-an juga tengah meneguk minuman yang serupa. Dia menuang kembali dan meminumnya. Sino menatap bosnya, kadang mengalihkan pandangannya ketika orang itu balas menatapnya.

"Apa yang kamu lakukan!?" Sukonto membuka mulutnya. Kemudian meletakkan gelasnya di meja kaca. Samar-samar terlihat kaca itu retak di sekitar gelasnya, "kenapa kamu mendatangi sekolah Rhea?"

"Aku hanya sedang mencari seseorang," jawab Sino. Suaranya terdengar bergetar.

Sukonto meludah, "sudah kubilah dari awal. Turuti perintahku. Jangan menuruti perintah orang lain. Siapa yang menyuruhmu?"

"Di.. dia murid Citra Buana."

Sukonto menajamkan matanya seolah tak percaya. Bagaimana mungkin seorang Sino menuruti perintah seorang anak SMA. Dia tipikal orang yang akan menurut pada orang yang memiliki kuasa atau orang berduit.

"Siapa anak itu?"

"Dia Diandra," jawabnya singkat.

Sukonto mengeryitkan dahinya. Raut wajahnya berubah. Sekarang, ia bahkan tidak percaya Sino menuruti perintah perempuan.

"Bos, kau harus tau. Kudengar Rhea sedang menyukai seseorang. Namanya Faya. Kita bisa membalas dendammu."

Sukonto menaikan ujung bibirnya. Sesekali lampu sorot mengenai wajahnya dan membuat seringaiannya semakin terlihat, "Rhea akan membayar semuanya." Jika bukan karena temannya, istri Sukonto tidak akan mati.

***

"Jadi, bagaimana rencana kalian menjebloskan Sukonto ke penjara?" Tanya Faya disusul dengan tatapan tajam beberapa pasang  mata.

Faya menggaruk tengkukknya. Bukankah tidak ada yang salah dari kalimatnya?

"Ehm..." Roland berdehem.

Fandi mendekatinya dan berbisik, "kamu tahu semuanya? "

"Bagaimana jika Satria memang dibunuh? Polisi tidak akan percaya jika tidak ada buktinya." Faya berbicara seolah seorang detektif kejahatan serius, "kita harus mencari bukti. TKP pembunuhan mungkin sudah berubah, tapi kemungkinan kecil kita akan menemukan benang merah atas kematian Satria. Menurut perkiraanku, kematian istri Sukonto lah yang menjadi dendam Sukonto terhadap Satria."

"Waahhh..." enam orang di tempat itu memandanganya tak percaya.

"Benang merah menjadi bukti? Di rumahku banyak benang. Merah, kuning, hijau, biru, ungu," ucap Roland entah bodoh atau dibodoh-bodohkan.

"Dia bukan temanku!" ucap Fandi meniru gaya Rhea.

"Menurutku, jika Titan di sini, kita akan lebih mudah menyelesaikannya. Titan tahu banyak mengenai Sukonto, apa kamu sudah menemukan dia?" Tanya Fandi.

Rhea menggeleng lemah. Ia kemudian melirik teman-temannya yang fokus pada pembicaraan ini, kecuali Jonathan yang menyeka pipinya dengan icepack.

Faya diam memikirkan orang yang ia temui di taman. Dia memang Titan, orang yang di butuhkan Rhea sekarang. Faya hendak berucap namun urung.

Titan. Jika dia orang yang tahu masalah ini, maka hanya dirinya yang tahu keberadaannya. Apa aku harus diam saat aku tahu?

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang