Bagian 20

700 37 0
                                    

Setelah selesai berziarah, mereka kembali melanjutkan perjalan. Derap langkahnya menimbulkan debu tipis yang berterbangan, kemudian hilang menyatu lagi dengan tanah.

Hari sudah semakin sore. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Semakin lama mereka menjauh dari pusat kota, semakin jarang gedung-gedung besar dan tinggi di sekitar jalan. Juga jalanan semakin lenggang saja. Langit masih mendung sejak tadi. Semilir angin membuat pepohonan meliuk.

Faya memandang ke luar jendela.

Kemana semua orang menghilang?Kenapa orang-orang di dekat Rhea menghilang dan berubah.

"Kita hampir sampai," tutur Rhea membuyarkan lamunan Faya. Beberapa orang yang tertidur pun mulai menyadarkan dirinya.

Mobilnya harus melewati jalan yang berbatu dan tidak rata. Mereka yang di dalam mobil pun harus merasakan sensasinya.

"Fan, kemana lagi kita?"

Fandi melihat sesobek kertas yang bertuliskan alamat yang mereka cari. Tangan kanannya cekatan mengetikkan alamat itu ke google map. Matanya sesekali melihat sekeliling untuk mencari petunjuk jalan.

"Masih lurus, Rhei," ucapnya.

"Kapan kita sampai?" keluh Faya.

"Nih, kan, kalau ngajak cewek ribet. Dikit-dikit ngeluh!" ejek Roland.

Faya tak merespon. Ia tak ingin ada perdebatan lagi. Saat ini, ia sudah merasa sangat capek. Ia tidak ingin membuang energinya sia-sia hanya untuk meladeni ocehan Roland.

"Belok kanan, Rhei!"

Mobil itu berbelok mengikuti jalanan yang semakin lama semakin menyempit. Jika tidak hati-hati, bisa saja ban mobilnya masuk ke dalam selokan tanpa penutup.

Fandi turun  ke bawah untuk bertanya kepada seseorang. Ibu-ibu itu tampak mengisyaratkan dengan gerakan tangannya. Samar-samar Fandi terlihat menganggukkan kepalanya paham.

Mereka sudah bertanya lebih dari lima kali. Tapi rumah yang mereka cari belum terlihat.

"Fay, lo turun deh sekarang!" Perintah Fandi yang sudah mulai putus asa.

"Heh. Lo ngusir gue?" ucap Faya sambil menaikan intonasi suaranya.

"Bukan itu. Lo turun sekarang dan cari tahu rumah yang mana."

"Oh..." ucapnya sambil membuka pintu lalu bertanya pada ibu-ibu di depan rumah yang sedang menyapu, "permisi, bu! Maaf saya mau bertanya. Rumahnya Kinara sebelah mana, ya?" tanyanya sambil berulang kali menoleh untuk memastikan mereka tidak meninggalkan dirinya sendiri.

Ibu-ibu itu tampak berfikir, "Kinara siapa, ya? Ehm... di sini ada Kinara. Tapi masih anak SD kelas satu."

Rhea menyusul, "kita mau cari rumah nenek Sulastri. Cucunya bernama Kinara. Umurnya kira-kira 17 tahunan."

"Nenek Sulastri tinggal sendiri. Tetapi sesekali sebulan ada seorang lelaki yang datang ke rumahnya, "tutur ibu-ibu itu, "Orangnya kaya preman. Tapi bukan depkolektor."

Rhea dan Faya saling pandang, 'nenek ini adalah yang mereka cari.'

"Rumahnya sebelah mana ya, bu?"

"Oh... lurus aja, dek, nanti kalau ada pertigaan belok kanan. Di samping taman bermain ada jalan setapak kecil, kalian masuk kesitu. Nanti ada rumah di samping taman bermain. Itu rumah nenek Lastri."

Setelah mendapatkan informasi yang mereka cari, Faya dan Rhea bergegas menuju mobil. Tapi ibu-ibu itu memanggilnya untuk kembali, "jangan ke rumah itu sekarang. Datanglah besok!"

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang