Bagian 12

731 46 0
                                    

Pagi ini, Faya seperti mayat hidup yang berkeliaran dalam kamarnya. Matanya sayu dan wajahnya sangat kusut dan lesu. Rambutnya berantakan tak karuan. Ada lingkaran mengitam di sekitar matanya. 

Semalam ia menangis. Entah sedih, takut, kebingungan, atau justru menangis karena bahagia-ya setidaknya setelah ini ia tak perlu lagi berurusan dengan Rhea, tapi bukan itu yang ia rasakan. Faya merasa ia sangat lega jika orang itu tidak terjerumus dalam kehidupan narkoba.

Dengan malas, Faya menyibakkan selimutnya dan bergegas menuju kamar mandi. Membasuh wajahnya dan mandi. Setelah itu ia memakai seragamnya dan berdiri menghadap cermin. Matanya masih terlihat sembab, tapi tak seperti saat ia bangun. Ini sudah jauh lebih baik.

Faya keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju meja makan, mengambil roti, mengolesinya dengan selai, kemudian memakannya. Hal itu ia lakukan tanpa duduk di kursinya. Jelas itu bukan kebiasaannya. Orang tua dan saudaranya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Faya.

“Bang, buruan sarapannya. Hari ini aku ada urusan nih. Penting!” ucapnya sambil mengedipkan matanya.

Fahri  berdecak lidah, “PR itu dikerjakan di rumah, bukan di sekolah!” ia pun meninggalkan dirinya.  Sedangkan Faya yang melihat tingkah abangnya hanya bisa memanyunkan bibirnya.  Ia sedang tidak mau bertengkar dengan abangnya.

Dari luar terdengar suara mobil yang di keluarkan disusul dengan teriakan keras yang membuatnya segera berlari ke halaman rumahnya. Sebelum Faya duduk dengan sempurna mobilnya sudah melaju kencang, berbelok, dan membuatnya hampir tejerembab ke arah pintu.

Sesaat setelah kejadian itu, Faya masih menanyunkan bibirnya dan berdiam diri. Ia lebih senang melihat tetesan air hujan di kaca yang semakin deras.  Ada berita yang harus segera ia sampaikan kepada sahabatnya. Tentu hal itu adalah sebuah berita besar.

“Dek, kamu nggak pernah cari gara-gara, kan?”

“Kenapa?” keningnya berkerut.

“Ini!”  ucap Fahri sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya kemudian meletakkannya di dashboard di depan Faya.

Faya meraih kertas itu dan membukanya perlahan.

Gadis pintar, kamu menikmati permainanku, kan?
Temukan siapa diriku yang sebenarnya
Segala kejadian adalah kuncinya!

“Gila!” umpatnya lirih. “Siapa orang ini!” kembali ia mengumpat tidak jelas.

“Malam saat teman kamu masuk rumah sakit.”

Faya membuka kembali memorinya. Memang sudah lama. Mungkin benar jika Rhea bukan orang itu. Faktanya banyak yang merujuk bahwa ada orang lain di balik kejadian ini. Kejanggalan itu terbukti sekarang setelah abangnya memberikan surat ancaman yang sempat salah sasaran.

Saat ia sedang berpikir keras, mobilnya telah berhenti sempurna. Ia segera turun, berjalan menuju gerbang sekolah, dan menyapa teman-temanya.

“Dek, jaga diri baik-baik!”

Faya berbalik dan tersenyum memastikan kakaknya tak perlu khawatir tentang masalah ini. Setidaknya, mentalnya sudah lebih kuat sekarang. Ia bukan lagi gadis lemah lagi.

Faya meremas surat ancaman itu, namun urung untuk membuangnya. Ia memasukannya dalam sakunya. Mungkin akan membantu untuk menemukan siapa orang itu.

"Gadis pintar? Jika itu Rhea, sejak kapan dia meganggapku gadis pintar. Bahkan selama ini dia lebih sering memanggilku gadis bodoh. Rhea selalu  memanggilku gadis bodoh."

Setelah sampai di kelasnya pun, ia masih menatap dengan pandangan kosong. Ia tak lagi tertarik dengan gosip-gosip murahan yang sekarang tengah di perbincangkan. Berita yang tadinya membuat Faya bersemangat sekolah tak lagi membuat moodnya berubah. Tak lain karena surat berengsek itu.

Berandal Buana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang