Hujan Kesepuluh

595 49 1
                                    

Sebulan berlalu

Keramaian habis upacara akhir tahun kali ini suasananya seperti biasa. Hanya saja suasana hatiku yang kini berbeda.

Meski sorak-sorai teman-temanku membuat sekolah hidup, aku tetap saja merasa sepi dan kosong. Perasaan familier yang satu bulan ini menemaniku.

"Lo mau jenguk Altra hari ini?"

Andre datang mengagetkanku dari belakang.

Nama itu masih terasa sensitif di pendengaranku. Contohnya ketika Andre menyebutkannya, hatiku mendadak berdenyut ngilu.

Aku menggeleng. "Gue masih belum bisa, Ndre."

Andre mangangguk paham dan tersenyum penuh arti padaku.

Aku sangat bersyukur punya sahabat seperti kelima sahabatku. Ketika aku terjatuh waktu itu, mereka selalu ada di sampingku. Menghiburku meski aku sendiri sudah tak berharap untuk hidup.

Dan Andre. Dia berubah kembali menjadi sosok hangat seperti dulu.

"Trus hari ini lo mau ke mana? Yang lain udah duluan ke kafe Malik."

"Gue mau ke suatu tempat."

"Perlu gue temenin?"

"Nggak usah."

"Tapi lo mau nyusul, 'kan?"

Aku mengangguk seraya tersenyum. "Iya. Gue nyusul kok!"

**

Aku menatap nyalang bangunan sederhana di depanku. Bangunan yang selama ini kuhindari. Karena salah satu tempat yang mengandung banyak kenangan bersama Altra.

Aku tak pernah berani menjenguk Altra semenjak kejadian itu. Rasa tak pantas karena membuatnya seperti itu, terus saja menghantuiku.

Kematian Alka, perlahan bisa kuterima. Hanya saja jika mengingatnya sedikit saja, selalu bisa membuatku menangis.

Alka menjadi salah satu topik yang harus selalu kuhindari.

Aku masih berdiri di depan bangunan yang beberapa kali kudatangi dulu. Ingatan demi ingatan berputar kembali bak roll film yang berputar di dalam salah satu sudut otakku.

Satu tetes air mata langsung kuseka begitu saja. Lantas menguatkan diri untuk membuka gerbang besi yang tingginya hanya sedada dari tinggiku.

Entah sebuah kebetulan, seorang wanita paruh baya ke luar dari bangunan itu. Sambil mengulas senyumannya, ia mendekatiku. Aku yang masih bergeming tak ada ide sekali pun untuk menghampirinya.

"Apa kabar, Sayang?"

Tante Maria mengusap kepalaku lembut. Rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam rongga dadaku. Rasa bersalah karena tak jua menjenguknya sejak hari kejadian itu.

"Baik, Tante. Tante mau ke mana?"

"Tante mau ke rumah sakit. Alia mau apa ke sini?"

"Tadinya mau ketemu Tante."

"Oh gitu. Ya udah kita sekalian ke rumah sakit yuk!"

Aku menggeleng. "Gak usah, Tante. Alia nggak bisa lama. Kalau Tante sibuk, Alia pulang dulu kalo gitu."

"Tunggu."

Setelah mengucapkan itu, tante Maria masuk kembali ke dalam rumahnya. Meninggalkanku sendiri di depan halaman rumahnya.

Hingga tak berselang lama, tante Maria ke luar. Namun yang berbeda sekarang adalah ada secarik kertas di tangan kanannya.

"Ini surat buat kamu."

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now