Enigmatis

777 63 3
                                    

“Eh si Alia ditutorin sama kelas sepuluh ya?”

“Iya. Terus cowoknya itu idiot gitu.”

“Oh yang baru masuk, bukan? Gak tau malu emang. Muka aja sangar, tapi otak lebih idiot juga dari tutornya.”

Oke! Hinaan terakhir hari ini sudah tak bisa termaafkan. Rahangku seketika mengeras dan wajahku memerah emosi. Aku baru saja melenggangkan kaki di koridor dan cewek-cewek manja itu sudah seenak jidat menghinaku.

Enak saja merendahkan harga diri seorang Al. Siap-siap saja hidup mereka mulai hari ini tak akan pernah tentram.

“BISA ULANGIN OMONGAN LO LAGI GAK?!”

Suaraku menggelegar sepanjang koridor. Semuanya serentak sunyi. Aku berjalan dengan langkah yang ditekan. Keempat cewek yang ada di depanku sudah gelagapan tak menatapku.

Dasar! Kalau sudah ada orangnya, mereka ketakutan minta dikasih hati. Kalau aku pergi, pasti urat malunya akan terus merongrong menghinaku.

“ELO PUNYA TELINGA 'KAN CABE?!”

Keempat cewek itu memekik kaget. Mereka menunduk takut. Aku sudah ada di depan mereka dengan tatapan mematikan. Seperti seorang malaikat maut yang akan mengambil jiwa seseorang.

Kalau saja ini bukan area sekolah, sudah kupastikan mereka tidak akan belajar seminggu ke depan.

Dan selama proses penghakiman itu, tidak ada sedikit pun suara. Seolah takut kalau mereka berbisik saja, akan menjadi bulananku untuk dibully.

“KALO KALIAN GAK NGOMONG, GUE PASTIIN RAMBUT LO PADA BOTAK SEMUA!” lagi-lagi mereka tersentak.

Salah satunya mencoba mengangkat kepala. Kedua mata Agnes yang kulihat dari nametagnya itu berair. Sudah aku duga, cewek emang senjatanya nangis melulu.

“Ada yang mau lo jelasin?”

Cewek itu semakin gemetaran. Mukanya sudah pias. Membuatku ingin tergelak tertawa. Padahal baru disentak sedikit saja sudah ketakutan kaya lihat setan.

“A-anu, Al….” Cewek itu saling menautkan jemarinya. Tapi aku sama sekali tak peduli dengan ketakutannya.

Emosiku terlanjur mendidih. Harga diriku sudah tercabik. Nasi kini menjadi bubur. Kata-kata mereka telah bermetamorfosa menjadi sebuah bumerang.

Siapa suruh menghinaku di belakang?

“Gu-gue minta maaf. Gu-gue cuma… cumaa….”

“CUMA APA?!” Aku mendekatkan wajahku. Memberi tatapan intimidatif. Agnes semakin ketakutan.

“Pokoknya maafin kita, Al.”

“Iya, Al,” jawab cewek yang lain.

Semuanya serempak semakin menundukkan kepalanya. Memelas dan memohon untuk meminta maaf padaku. Tapi aku tak bisa memaafkannya begitu saja. Cewek-cewek cabe macam mereka, mulutnya juga tak kalah pedas dengan cabe kiloan.
Sekarang saja bilangnya maaf. Paling sekitar sejam lagi, omongan mereka akan lebih menusuk.

Munafik memang.

“Gue bakalan maafin lo semua. Tapi dengan satu syarat.”

Tidak ada yang menjawab. Mereka pasti ketakutan setengah mati. Hukumanku memang akan menyusahkan setengah mampus. Dan akan menjadi kenangan ‘terindah’ yang akan mereka ceritakan pada anak cucu mereka nanti.

Satu sekolah sudah tahu itu. Jadi jarang sekali yang mau membuat masalah denganku. Guru-guru pun cuma menggeleng mendengar perbuatanku. Asal masih di dalam batas normal.

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now