Curhat

385 47 0
                                    

Aku mengerjapkan pandanganku. Aroma antiseptic menyeruak ke dalam indra penciumanku.

Aku baru ingat. Setelah menangis tersedu tadi, aku memutuskan untuk tidur di UKS. Belajar di kelas, pasti tidak akan membuatku fokus. Daripada membuang waktu, lebih baik aku mengistirahatkan otak dan perasaanku.

Berharap tidur ini bisa mengikis sedikit demi sedikit luka yang baru terbentuk pagi ini. Namun nyatanya, tidak ada efek apapun. Suara Altra masih jelas terasa di memoriku. Bahkan terus saja terulang bagai suaranya masih berada di dekatku.

Hingga meluncurkan satu tetes air mata ke pelipisku.

"Elo udah bangun?"

Aku cepat-cepat mengusap air mata nakal tadi. Dan menatap orang yang saat ini berjalan menuju ranjang tempatku tidur.

"Elo gak di kelas, Ndre?" tanyaku dengan suara serak.

Andre menatapku lembut. Kekhawatiran muncul di retina matanya yang bisa kutangkap jelas.

"Elo kenapa?" Andre tak menggubris pertanyaanku.

Hatiku mendadak ngilu mengingat kejadian tadi kembali. Kupikir tadi hanyalah sebuah ilusi. Tapi nyatanya dengan kutidur di sini, sudah terlihat jelas. Kalau kejadian tadi adalah sebuah realita.

"Gue gapapa."

"Gue tau elo bohong, Al. Cerita aja sama gue. Gue sahabat elo. Buat apa gue jadi sahabat, kalo lo sendiri malah tertutup sama gue?"

Suara Andre terdengar persuasif. Tidak ada nada angkuh maupun sarkas.

Aku ingin sekali mengutarakannya. Tapi mengingat semua ini terjadi karena Altra, mustahil aku ceritakan.

"Gue jujur kok. Elo tenang aja ya?"

Andre menghela napasnya. Kemudian ia mengusap puncak kepalaku. Salah satu kebiasaan Andre yang aku sukai.

Kenapa ya aku sulit sekali membuka hatiku pada Andre? Andre pastilah tulus menyayangiku. Mengingat cowok itu tak ada kata menyerah meski aku menolaknya sekali pun. Dan kuyakin, aku pasti tidak akan semenderita seperti sekarang jika aku pacaran dengan Andre.

"Kalo gitu gue ke kelas dulu ya. Pulang nanti kita ke rumah Zaki. Elo bisa?"

Aku mengangguk.

Lantas Andre tersenyum padaku hingga akhirnya cowok itu ke luar.

Aku kembali menatap langit-langit UKS yang berwarna putih. Semuanya mendadak muram. Rasanya aku ingin berteriak. Mengeluarkan tangisku yang tertahan.

Sakitnya terlalu dalam. Seolah ada belati yang terus menghujam hatiku.

Aku masih belum mempercayainya. Altra yang idiot begitu mudahnya menyiram air keras ke atas perasaanku. Perasaan yang kupikir akan berakhir indah dan sempurna.

Nyatanya, malah menjadi bumerang yang berbalik menyakitiku.

Aku tidak membenci Altra. Sungguh. Hanya saja alasan Altra yang masih tidak bisa kuterima oleh akal sehatku, semuanya masih terlihat ambigu. Semua alasan yang kuutarakan, tak ada yang benar.

Tetapi ketika membicarakan soal alasan terakhir, Altra terdiam.

Apa semua ini salahku?

**

Aku mengembuskan napasku sambil menatap rumah yang sudah tak asing lagi buatku.

"Elo kenapa?" Zaki tiba-tiba di depanku hingga membuatku hampir terjungkal.

"Ngagetin lo pe'a!" Aku memukul puncak kepala Zaki sampai cowok itu merintih.

"Anjir sakit banget ih, Al!" keluhnya seraya mengelus daerahnya yang sakit dengan kerut muka yang hampir menangis.

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now