Hujan Kesembilan

457 47 6
                                    

"Gue duluan ya guys!" Aku melambaikan tanganku pada jendela mobil Andre.

Aku baru saja diantar oleh lima kacung itu hingga ke rumah. Mereka pun membalas lambaianku dan langsung pergi kembali.

Tubuhku benar-benar lelah sekarang. Ransel yang kugendong semakin terasa beratnya. Rasa lengket karena tadi belum sempat mandi, aku hiraukan. Yang ada di dalam sel otakku hanya tidur. Bahkan berharap baru besok aku bisa bangun.

Kemudian aku membuka pagar besi rumahku. Hingga menimbulkan suara decitan engsel yang bergesekkan. Lantas menutup dan menguncinya. Baru saja aku mengambil langkah kelima, suara barang pecah masuk ke pendengaranku.

Dengan segera aku melepas ranselku dan berlari. Belum sempat menginjak teras, aku ditabrak dengan keras oleh seseorang. Untung saja aku tak sampai terjungkal.

Aku mengusap bahuku yang terasa ngilu. Dan berbalik menatap manusia mana yang berani menabrakku.

"Kau?!" desisku tak percaya. Wajah wanita yang melahirkanku itu sudah memerah. Mimik wajahnya terlihat jelas kalau wanita itu sedang marah. Bibirnya berkedut dan anak-anak rambut yang tak ikut terikat menjuntai menutupi sedikit wajahnya.

"Aku kira kau tidak akan pulang." Satu kalimat itu berhasil menohok hatiku.

Memangnya apa yang aku harapkan? Berharap dia menyambutku layaknya seorang ibu yang merindukan anaknya? Tentu saja aku masih punya otak untuk memikirkannya.

"Memangnya kenapa? Kau merindukanku?" Aku berusaha setegar mungkin untuk berhadapan dengannya. Walau dalam hati berbagai macam perasaan bercampur aduk.

Wanita itu berdecak. "Waktuku terlalu berharga untuk sekedar merindukanmu, Nona."

Dadaku seketika sesak. Sakitnya masih sama. Hatiku seakan terkoyak jika dia terus melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan. Padahal aku selalu menduganya, tapi kenapa sakitnya tak pernah hilang?

"Maura!" Suara berat itu membuat kami spontan menoleh. Ayahku berdiri di depan kusen pintu. Menatap wanita itu dan aku secara bergantian. Tapi tak pernah aku duga, ayahku langsung mendekatiku dan dalam sekejap membawaku ke dalam pelukannya.

"Jangan dengarkan ibumu, Alia." Aku sediki merinding mendengar suara ayahku yang serak tepat di telingaku. Beliau menyandarkan dagunya pada bahuku. Aku tidak membalas pelukannya. Kejadian ini terlalu tiba-tiba buatku.

Ayahku memang sudah menginjak kepala tiga. Beliau jarang sekali memerlihatkan kelemahannya. Namun sekarang... aku seakan merasakan beban berton-ton lewat pelukannya.

"Kalian benar-benar keluarga harmonis." Tubuh ayahku sejenak terasa menegang. Mendengar suara ibuku tadi entah kenapa ada nada iri dan sedih yang kutangkap? Meski dominan pada suara sarkastik, tapi ada sebuah harapan di dalamnya.

Mungkinkah?

Ayahku kemudian melepaskan dekapannya. Kemudian berdiri di depanku. Menghalangi mataku untuk melihat wanita itu. Beruntung komplek perumahanku sedang sepi, karena baru pagi hari. Sehingga kami bebas dari gunjingan dari beberapa tetangga.

"Aku harap kau pergi saja Maura!"

"Kau siapa, Anton?! Ini rumahku! Kenapa aku harus angkat kaki dari sini! Kalian yang harusnya pergi! Bukan aku!"

Genggaman tangan ayahku pada pergelanganku semakin erat. Membuatku meringis. Ayahku dibalik ketegarannya ternyata memiliki kesakitan yang teramat dalam seperti itu.

Kenapa?

Kenapa lelaki sebaik ayahku harus berjodoh dengan wanita kejam seperti ibuku?

Dunia terasa tak adil.

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now