Pertemuan

1.9K 105 4
                                    

"Malam ini malam terakhir bagi kita... untuk mencurahkan, rasa rindu di dada...."

Gila!

Itu gelar yang tepat untuk manusia itu!

Aku sedang menatap geli manusia yang sudah membuat konser dadakan itu. Namanya Malik. Sayangnya orang yang kusebut gila itu, sahabatku.

Malik adalah salah satu spesies makhluk hidup yang sering bikin ramai kantin. Bernyanyi, berjoged walau gayanya kaya orang kejang, tapi nggak tahu kenapa, Malik selalu berhasil membius seluruh perhatian warga kantin.

Aku hanya terkekeh melihat Malik yang sudah mode 'dangdut'. Cowok itu mendengarkan -ahh tidak. Lebih tepatnya Malik ikut bernyanyi dengan suara pria dari lagu tersebut.

Kalau Malik sudah sinting, dia bakalan nggak tahu malu. Kantin dijadikan tempat konser tunggal untuk dirinya sendiri. Ada guru datang pun, Malik seolah tak ingin tahu. Cowok itu bakalan lupa bumi kalau sudah mendengar lagu dangdut. Dan seluruh manusia yang semeja denganku benar-benar tak ada ide sama sekali untuk menghentikan perbuatan laknat Malik itu.

Mendadak Malik menatapku sangar. "Kenapa sih lo gak ikut nyanyi, Li?"

Malik sepertinya sudah marah padaku. Menyadari kalau aku tak ikut bernyanyi bersamaan dengan suara wanita dalam lagu yang sengaja Malik lantunkan dari ponselnya.

"Bosen gue! Sama Iqbal kek, Dicky kek, atau siapapun. Jangan sama gue terus, Lik!"

Aku berpura-pura jengah dengan perbuatannya. Sebenarnya, aku sama sekali tak keberatan dengan permintaan Malik. Karena aku sebelas duabelas dengannya. Dangdut, joged dan duet dengan Malik, menjadi rutinitasku kalau sudah di kantin.

Makanya aku sebut Malik sebagai 'salah satu'. Karena makhluk 'salah dua'nya adalah aku sendiri.

Sama-sama gila memang!

"Mereka mana mau! Elo kan sama kaya gue." Malik menyunggingkan senyum jailnya. "Sama-sama gak punya malu!"

"Sial lo!" geramku sambil melempar bekas susu kotakku yang kosong ke arahnya.

"Btw, si Andre kemana?" tanya Malik yang entah bertanya pada siapa. Ia sudah turun dari kursinya dan membuat kantin lengang kembali karena lagu dangdutnya sudah hilang dari peredaran udara.

"Biasalah, bapak Ketos mah sibuk," jawabku akhirnya.

Sudah kupastikan, tidak akan ada yang mau menjawab pertanyaan Malik tadi. Lantaran seisi mejaku ini benar-benar seperti kota mati. Padahal ada tiga orang selain aku dan Malik yang mengisinya. Tapi setiap otak masing-masing makhluk hidup di dalamnya, tak pernah ada yang sama.

Izinkan aku beri tahu.

Di sampingku namanya Iqbal Aziz Salman. Namanya memang ke-Araban. Persis dengan wajahnya yang khas timur tengah. Kulit putih, hidung mancung dan alis tebal. Kayanya cetakan orangtua banget tuh anak.

Iqbal hobi baca buku. Bacaannya berat-berat. Apalagi untuk bacaan anak SMA yang masih belum mengerti kejamnya hidup. Judul bukunya tak pernah sama sekali kumengerti. Ada yang judulnya Risalah Cinta dan Hidayah Hati. Bukan sejenis buku novel romantis, tetapi isinya selalu memberi analogi-analogi yang membuat kepalaku pusing setengah mati.

Dia cowok sholeh. Paling rajin sholat Dhuha. Tapi hobinya nonton bokep. Acap kali, Iqbal selalu menawariku salah satu filmnya. See? Manusia tidak selamanya sempurna.

"Buku apa lagi, Bal?" Malik bertanya setelah menyeruput jus jeruknya. Cowok itu seperti kesusahan untuk mencerna serangkaian huruf yang tercetak besar di sampul buku milik Iqbal.

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now