Kemping (1)

453 42 0
                                    


"Siang semuanya!"

"Siang!" jawab kami serempak mendengar sapaan sang ketua OSIS di depan. Siapa lagi kalau bukan Andreas Jonathan. Salah satu dari kelima sahabatku.

Cowok itu tampak berwibawa ketika berpidato di depan. Sedangkan aku sedang berada di dalam barisan dengan posisi tangan ke belakang; posisi istirahat di tempat.

Semuanya sunyi selain Andre yang sedang berbicara panjang.

Suara burung berkicau di pagi hari, membuat suasana sedikit ramai. Udara sejuk dari pohon-pohon tempat berkemping kami, membuat tubuhku lebih rileks. Mungkin karena warna hijau serta udara alami yang jarang sekali kuhirup ketika di kota.

Kami semua; seluruh anggota OSIS serta kurang lebih lima orang guru tiba di tempat perkempingan ini. Kondisinya sangat alami. Gemericik air dari sungai, seketika memberi aroma yang begitu menenangkan. Benar-benar jauh dari kebisingan suara knalpot ibu kota.

Tetapi tetap saja. Bagaimana pun keadannya kalau terus berdiri begini, lama-lama aku mau pingsan.

Andre masih berorasi. Sedangkan kakiku mulai kesemutan karena terlalu lama berdiri.

Kapan sih ketos itu berhenti? Aku saja tidak tahu apa yang dibicarakan Andre sedari tadi. Karena pikiranku tidak melayang di sini. Melainkan ke arah kasur.

Kenapa? Lantaran jam sepuluh seperti sekarang, aku harusnya masih tertidur. Bukannya berdiri tegap layaknya pasukan tentara seperti ini.

Aku bersumpah. Akan membalaskan perbuatan Andre setelah kemping ini selesai.

Andre masih asyik dengan suara tegasnya. Kulirik dari beberapa orang yang begitu serius memperhatikan Andre.

"Setelah ini, semuanya harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Putra mendirikan seluruh tenda dan Putri memasak untuk makan siang nanti."

WHAT THE....

Andre gila! Aku disuruh memasak! Ah tidak ralat. Tapi semua putri yang disuruh memasak. Apa dia tidak simpati dengan diriku? Kesini saja aku sudah malas ampun-ampunan. Apalagi harus menjalankan tugas seperti itu.

"BALIK KANAN BUBAR JALAN!" suara tiba-tiba Andre menyadarkan pikiranku kembali. Salam penutupnya pun tak sempat kudengar. Karena pikiranku yang begitu heboh mengumpat Andre.

Aku masih diam di tempat. Memberi mata laser pada cowok yang sedang menghampiri keberadaanku.

"Biasa aja kali mata elo." Andre terkekeh geli.

Cowok itu memang kembali ke sedia kala. Tidak ada wajah yang ditekuk maupun geram. Yang ada, Andre malah menjadi cowok manis ketika bersamaku. Tak percaya? Aku saja masih seperti berkhayal kalau Andre dapat berubah secepat ini.

"Kok gak nyadar diri ya, Mas?" Aku melipat tanganku. Dan Andre malah menertawaiku. Seolah aku ini badut yang sedang menghiburnya.

"Gapapa, Al. Belajar masak dari sekarang. Jadi suami bisa betah lama-lama di rumah nanti."

"Elo gak pengertian banget sih ah!" Aku hendak pergi meninggalkan Andre. Tetapi dengan cepat, Andre menarik pergelangan tanganku. Spontan aku kembali menghadap Andre.

Cowok itu dengan mudahnya menggenggam kedua tanganku.
Aku tidak memberontak. Cowok itu seakan menghipnotis tubuhku agar tak bergerak. Lewat matanya, aku kembali tenggelam ke dalam dua netra cowok itu.

"Buat ini mudah ya, Al. Gue tahu, elo gak suka acara ginian. Seengaknya, lo laksanain tugas lo meski cuma formalitas. Jujur aja, gue mau buat pengecualian buat lo sama yang lain. Tapi itu malah memperburuk hubungan kita, Al."

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now