Diskriminatif

981 75 7
                                    

Waktu istirahat di SMA Bhakti ramai seperti biasa. Suara cewek bergosip, suara cabe-cabean curhat atau suara cowok main bola. Itu ciri khas sekolahku yang setiap hari bisa kuamati.

Tetapi, akan selalu berbeda ketika mereka mencium keberadaanku. Apalagi dengan hawa membunuhku seperti saat ini.

Sejak aku berjalan di koridor, semua orang langsung menjaga jarak denganku. Bukan salah mereka yang aneh, hanya moodku saja yang tak bagus kali ini.

Kedua tanganku mengepal dengan wajah sangar seperti ingin mencabut nyawa seseorang. Dan mungkin –ah ralat, itu pasti alasan mereka manatapku ketakutan. Seolah melihat seonggok alien yang akan memusnahkan bumi.

Sudah cukup dengan majas hiperbolanya.

Aku memang kesal setengah mati. Ayu si jalang kelas, membuat acara ‘main-main’ku kacau. Padahal aku ingin melihat wajah Raisa yang tersiram air selokan karena kemarin sempat melihatku tajam. Dengan wajah sarkastiknya, Ayu memberitahu, “Elo dipanggil Bu Sari, Al. Gak pake lama.”

Aku tadinya ingin menjambak rambut panjang Ayu yang sepertinya dirawat habis-habisan oleh cewek itu. Tapi aku masih punya otak. Tidak ingin terlihat menjadi cewek sensitif; yang karena dijutekkin saja sudah emosi.

Aku sudah tahu alasan Bu Sari memanggilku kali ini. Guru Matematika itu seperti punya dendam masa lalu padaku. Setiap di kelas, beliau memintaku atau mungkin lebih detailnya beliau memaksaku untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Dengan tidak tahu malunya, aku hanya menuliskan curhatan menyedihkanku setelah lambang sama dengan.

Seperti:

Bu, saya bingung

Bu, saya pusing

Gak ada jawabannya, Bu

Pass!

Tetapi anehnya, Bu Sari tetap tak pernah absen untuk menyuruhku ke depan. Ditambah pelayanan ceramah nonstop selama setengah jam.

“Kamu hebat sekali, Altra. Kalau ibu bisa, ibu langsung naikkin kamu ke kelas sebelas.”

Suara logat batak yang khas tertangkap oleh telingaku ketika mulai memijakkan kaki ke ruang guru.

Tak ada basa-basi salam. Langsung saja aku melenggang masuk ke meja Bu Sari.

Sepertinya beliau sibuk berbicara dengan salah satu siswa. Tapi aku tidak ingin menunggunya untuk selesai bicara. Waktuku terlalu berharga hanya untuk mendengar suara Bu Sari.

“Ada apa Bu manggil saya?”

Bu Sari menatapku tak suka. Jelas saja dia kesal. Aku tiba-tiba saja memotong ucapannya. Tanpa ada sapaan manis sebagai pembukaannya.

Dan kulihat Bu Sari sudah terbiasa dengan perbuatanku. Ia menghela napas pasrah sambil menatapku.

“Ibu lihat nilai-nilai kamu belum diperbaiki yang kelas 10, Alia. Kenapa?”

Emosiku sudah mau meledak ketika mendengar manusia di bumi ini menyebut nama perempuanku. Namun cepat-cepat kuingat. Kalau Bu Sari adalah salah satu guru yang punya kuasa penuh untuk meluluskanku dari sekolah biadab ini.

“Saya gak ngerti hitung-hitungan, Bu. Ibu juga 'kan ngerti, saya paling gak bisa liat angka.”

“Kalau kamu belajar lebih giat, kamu pasti bisa, Alia.”

“Ibu juga harusnya tau 'kan kalau kadar kepintaran orang-orang itu beda-beda.”

“Kamu juga harus tahu Alia, kepintaran itu bukan sudah ada dari lahir, tapi tergantung usaha kamu selama ini.”

Hujan Kesepuluh [COMPLETED]Where stories live. Discover now