[31] Firasat

13.7K 1K 86
                                    

Matahari bersinar cerah hari ini tapi sepertinya tidak didalam rumah dinas kecil tempat kedua pasangan suami istri itu tinggal. Seakan mendung menaungi rumah itu karena aksi perang dingin penghuninya.

"Ini, makan. " Kirana meletakkan dengan keras piring berisi telur dadar buatannya diatas meja.

Chandra menaikkan sebelah alisnya, "Telur dadar lagi?" protesnya.

Kirana yang asyik menikmati sereal miliknya berbalik menatap Chandra. "Kalau lo gak suka buang aja."

Chandra membulatkan matanya. "Tapi itu mubazir Kirana. Gak baik buang-buang makanan."

"Yaudah lo makan, gak usah banyak protes. Pak Ustadz gue bilang kalau makan gak boleh menyela makanan." sindir Kirana kemudian mengambil suapan besar sereal dan menguyah serealnya dengan kasar.

Chandra menghembuskan napasnya. Sebenarnya ia tidak bersungguh-sungguh ingin menyela makanan yang dimasak istrinya itu. Ia hanya tidak suka suasana kaku yang terus tercipta antara ia dan Kirana. Setidaknya wanita itu bisa tetap berbicara kasar padanya, ia sudah bersyukur.

"Kamu gak mau buka gordennya? Rumah kelihatan gelap, Ran." keluh Chandra. Rumahnya kini gelap. Untung Kirana masih ingin menyalakan lampu kalau tidak rumah itu akan terlihat betul-betul pengap.

Kirana tidak merespon. Wanita itu malah menyelesaikan makanannya dengan cepat. Bahkan kini ia telah mencuci mangkuk bekas serealnya tanpa menunggu Chandra selesai makan.

"Lo cuci piring sendiri. Gue mau mandi, " ucapnya setelah mengelap tangannya dan kemudian berjalan menuju kamar tanpa berbalik pada Chandra.

"Dan jangan sekali-kali berani buka gordennya!" ucapnya tiba-tiba saat berada di depan pintu kamar.

"Baik putri kegelapanku tercinta!"

***

Kirana berjalan keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di kepalanya. Suasana rumah terlihat sepi, Kirana yakin Chandra sudah berangkat kerja dan mungkin pria itu akan pulang esok hari karena mendapat giliran piket malam.

Sambil bersenandung kecil, Kirana meraih ponsel putih miliknya di meja rias. Ia terlihat menarik napas panjang setelah melihat tumpukan panggilan tak terjawab dan pesan yang tak terbaca.

Kirana mungkin tak masalah jika pesan dan panggilan itu dari orang tuanya, kolega kerjanya, dan bahkan ia tidak masalah jika saja mantan pacar atau Andara dan Valeria yang notabenya mantan temannya itu menghubunginya tapi permasalahannya semua pesan itu dikirim oleh satu nama. Nama yang dulu, ia pikir berbeda dengan yang lain, berbeda dengan Yudha, Andara, Valeria, dan semua orang yang dulu menyebut diri mereka 'teman'.

Tiba-tiba ponsel di tangan Kirana berdering nyaring dan menampilkan satu nama di layar ponselnya.

Dylan calling.

Mata Kirana berkedut, tangannya mulai berkeringat, ia tanpa sadar sudah melempar ponselnya di sudut ruangan hingga menimbulkan bunyi keras saat ponsel itu beradu dengan lantai tegel. Jangan tanyakan bagaimana kondisi ponsel itu, yakinlah besok ponsel mahal itu sudah kembali ke tempat service melihat layarnya yang rusak dan baterainya yang bahkan terlempar ke dalam ranjang.

Kirana menatap was-was ke arah gorden rumahnya yang masih tertutup rapat. Kirana malah berjalan menuju saklar dan mematikan lampu kamarnya membiarkan rumahnya dalam kegelapan sedangkan ia kini sudah menelungkupkan kaki sambil duduk di sudut kamarnya. Tempat teraman menurutnya.

"Aku tidak bisa membunuhnya"

Kirana menutup telinganya mendengar suara itu terus terputar dalam otaknya seperti kaset kusut.

Chandra & KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang