CHAPTER TWENTY FOUR

124 9 2
                                    

Aku terbangun ketika tertidur di sofa, suara lalu-lalang keluarga besarku di dalam rumah sangat ramai. Setelah biasanya rumah ini terasa dingin ketika Papa di rumah sakit, akhirnya hari ini rumah terasa ramai. Aku terduduk sembari merenungi kepergian Papa. Ya, benar. Ruang ini memang ramai saat ini. Tapi hatiku benar-benar merasa sepi. Aku merasa sangat kosong. Papa adalah sebagian dari jiwaku, maka kepergiannya benar-benar membekas bagiku. Meskipun begitu, aku juga menyadari bahwa aku tak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Karena aku telah berjanji kepadanya. Pun karena Ia akan selalu bersamaku, mengawasiku dari langit sebagai bintang di malam hari, menemaniku sebagai angin dikala siang, dan menghiburku sebagai hujan yang turun saat langit pun sedang tidak bersahabat.

Aku melihat Mama sedang duduk bersama paman dan bibiku. Ekspresi wajahnya biasa saja, namun aku dapat menangkap sedikit kesedihannya. Namun aku enggan menyapa Mama. Maaf, mungkin aku egois. Ah, tidak. Maaf aku benar-benar egois, hingga untuk menyapa Mama, untuk sekedar saling menghibur aku tak mampu. Aku masih benar-benar marah soal kejadian kemarin. Aku marah tentang alasan mengapa Mama yang tidak ada di sisi Papa pada akhir kehidupannya.

Hari ini adalah hari pemakaman Papa, rasanya sangat berat untuk meninggalkan Papa dalam ruang sempit dan dingin itu. Sosoknya yang hangat terus saja terngiang dalam pikiranku. Papa, mengapa Papa pergi saat aku masih butuh Papa?

***

Di pemakaman banyak sekali orang-orang berkumpul. Ada keluarga besarku, teman Papa, teman Mama, temanku, guruku, dan juga tetanggaku.

Aku yang tidak mampu jika harus berdekatan dengan tiang lahat, dan menyaksikan prosesi pemakaman secara dekat, hanya berdiri diantara kerumunan pelayat. Aleaa dan Anne merangkulku agar aku kuat dan bersabar. Ah, mereka adalah sahabat terbaikku.

Aku melihat Mama menangis ketika jenazah Papa sudah dikebumikan dan mulai ditutupi tanah. Perlahan aku mendekati Mama yang tak jauh jaraknya dariku.

"Mama, jangan nangis. Papa selalu bersama kita."

Aku memeluk Mama, melupakan segala kebencian. Aku tahu, pasti Mama lebih sedih dariku. Papa adalah bagian dari hidupnya selama hampir delapan belas tahun ini. Mama lah yang terlebih dahulu menyukai Papa saat masih kuliah, itulah mengapa Mama merasa sangat kehilangan saat ini.

***

Usai pemakaman, aku duduk di samping makam Papa. Sementara Mama sudah terlebih dahulu pulang bersama paman dan bibiku. Aku menatap nisannya erat-erat. Aku sangat merindukannya.

"Nak Escha..."

Seseorang memanggil namaku, aku menoleh dan berdiri. Ah, ternyata....

"Eh, iya om, tante!"

Mereka adalah tetanggaku, yang jarak rumahnya dua ratus meter dari rumahku. Om Genta, Tante Bunga, serta Dirga. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka. Sebenarnya aku masih marah dengan Dirga, tapi aku tidak yakin untuk pergi begitu saja. Karena orangtuanya pasti tidak berniat buruk kepadaku.

"Escha, eh... Mari. Tante panggilnya Mari aja deh ya? Biar samaan sama Dirga!"

"Hehe, iya tante..."

"Mari, kamu yang tabah ya sayang. Kalau kamu butuh apa-apa datang aja ke rumah Dirga. Pintu rumah kami terbuka terus buat kamu!"

"Iya loh nak, Om kalau sama calon menantu selalu welcome! Hehe..."

Aku hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan mereka sambil mengangguk.

"Mama, Papa, Dirga serius! Aku udah putus sama Mari. Jangan bercandain dia deh, dia kan lagi sedih!"

Hehe, iya. Kita udah putus. Tolong jangan bercandain perasaan aku. Aku merasa sangat sedih dengan ucapan Dirga.

"Putus kan masih bisa balikan? Ah udah deh, Mama, Papa balik dulu. Kalian lanjut ngobrol aja! Mari, tante duluan ya Sayang! Inget pesan tante, Ok?"

"Hehe, iya tan-te!"

Aku merasa gugup harus berdua dengan Dirga seperti ini. Aku merasa malu karena berbuat seburuk itu kemarin, apalagi baru saja Ia terdengar seperti mencampakanku di hadapan kedua orangtuanya. Setelah Om Genta dan Tante Bunga pergi, aku kembali duduk di posisi awalku tadi.

"Dirga, kamu nggak pulang? Hm?"

"Kamu?"

"Aku nanti, masih mau di sini bentar sama Papa!"

Dirga duduk di sampingku. Kemudian menatapku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Sementara aku mataku lurus menatap nisan Papa.

"Aku temenin ya? Aku juga pengen disini bentar, duduk sama kamu, sama Papa kamu."

"Akhirnya kejadian juga Ga. Kita duduk bertiga kayak gini. Meskipun keadaan Papa berbeda. Harusnya sekarang kita lagi minum teh, ngobrol santai, bareng-bareng. Itu impian aku. Tapi nyatanya nggak bisa."

Aku membalas tatapan matanya dan tersenyum. Dia masih menatapku lekat-lekat.

"Hidup ini, nggak berjalan sesuai kemauan kamu. Kalau kamu ngerasa hidup ini berat, kamu jangan pernah ragu buat cari aku. Atau gini deh, aku yang akan selalu ada buat kamu tanpa kamu harus cari aku. Mungkin aku nggak sebaik Papa kamu, tapi aku bakal mencoba yang terbaik buat kamu."

Aku menangis mendengar semua ucapan Dirga. Sambil menyeka air mataku, aku tersenyum. Aku benar-benar bahagia memiliki seseorang yang akan menjagaku seperti Papa.

"Thanks banget Ga. Aku seneng banget. Aku minta maaf ya buat yang kemarin-kemarin, kalau dipikir-pikir aku bocah banget kemarin itu. Tapi Ga..."

"Tapi apa?"

"Aku bisa nerima kamu sebagai siapapun, tapi buat balik kayak kemarin, aku masih butuh waktu."

Dirga mengangkat bahunya sambil tersenyum manis.

"Santai aja Mari! Semua rasa sakit butuh waktu untuk sembuh. Jadi, buat sekarang, tolong terima aku sebagai kakakmu, sebagai sahabatmu!"

Aku mengulurkan kedua tanganku. Kemudian Dirga menyambutnya dengan pelukan persahabatan yang hangat.

***

Kuinjakkan kaki keluar dari pemakaman. Di depan pintu masuk, ternyata ada teman-temanku yang sudah menunggu.

"Escha, kamu nggak kenapa-napa kan?"

"Eh? Iya mas, nggak kok."

Mas Asa juga temanku yang lain terlihat lesu siang ini. Padahal aku tidak mengharapkan kesedihan mereka agar mereka dapat menghiburku. Mas Ryan dan Aleaa yang biasanya ribut juga memilih diam. Sementara Anne sedari tadi tidak bisa lepas dari saput tangan.

***

Tbc.

Note tydack faedah:

Hehe, baikannya kok di makam sih mbak? Horor amat hubungan percintaannya. Sama kayak saya. Beda deng. Kalo saya suka, tapi udah ada yang punya. Yauda, cuma memeluk bayangan aja. Horor kan (:
Dih curhat.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang