CHAPTER FIVE

862 52 3
                                    

Hidup itu tidak akan selalu seperti keinginanmu. Seperti halnya engkau menginginkan coklat manis ketika kau harus memilih satu dari puluhan coklat dalam sebuah kotak. Apakah sudah pasti kau akan mendapatkan coklat yang manis? Tentu saja tidak. Mungkin saja kau akan mengecap rasa pahit di lidahmu ketika kau salah memilih.

Lalu apakah menurutmu semua terjadi begitu saja? Tentu saja tidak. Pahamilah bagaimana aroma coklat manis, dan bagaimana aroma coklat pahit. Di sanalah engkau dapat menemui takdir yang engkau inginkan. Coklat manis. Jangan menjadi bodoh dengan memilih takdir yang tidak engkau inginkan.

Aku menatap tumpukan buku teori-teori hukum dan kemanusiaan. Ini adalah takdir yang tidak aku inginkan. Tetapi aku memilihnya. Karena mama. Tidak, maksudku karena Dirga. Aku memilih takdir ini karena aku menginginkan Dirga. Aku ingin Dirga bahagia saat aku bisa memenangkan kompetisi ini nanti.

"Mari, kamu nggak pulang?"

"Hmmm.. nanti deh!"

Dirga yang duduk di bangku depanku membalikkan badannya dan menghadap ke arahku. Aku menatapnya sekilas. Ia tersenyum manis dengan wajah mengantuk dan melelahkan tetapi terlihat sangat lucu.

"Mari, ayo pulang! Ayo!"

"Bentar Ga, kurang dikit lagi kok!"

"Bener loh? Nanti keburu hujan!"

"Iya bener."

Aku melanjutkan membaca buku-buku itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan terbuka. Mungkin Anne. Aku membalikkan badanku dan menengok ke arah pintu.

"Kalian belum pulang?"

Aku dan Dirga saling menatap. Ternyata bukan Anne. Gadis itu menatapku dengan tatapan aneh. Aku sangat ingin menjelaskan kepadanya tetapi entah mengapa suaraku tercekat.

"Eh, kamu Han. Aaa... Ini..."

"Ini apa Cha? Kamu jadian ya sama Dirga?"

Aduh gadis itu pura-pura tidak tahu atau benar-benar bodoh? Menyebalkan sekali. Aku jadi malu sekali mendengar kata-kata Hanny. Padahal aku hanya mengerjakan penelitianku.

"Eeenggakk..."

"Enggak salah kok Han. Aku sama Mari memang sudah jadian!"

What? Aku jadian sama Dirga? Sejak kapan? Ini menyebalkan sekali. Aku tidak ingin ada gosip yang tidak enak. Meskipun aku menyukai Dirga. Aku tidak ingin secepat itu berhubungan dengan Dirga.

"Tuh kan bener! Aku udah tahu dari lama kalau kalian pacaran. Pantas saja Escha sering banget buntutin Dirga!"

Gila! Ini gila! Maksudku, kenapa Hanny tahu sedetail itu tentang diriku? Yang kedua, aku tidak pernah jadian dengan Dirga.

"Udah deh. Sana pergi, awas ya kalau bikin gosip!"

Dirga mengusir Hanny yang dari tadi hanya di ambang pintu. Aku yang sedari tadi diam karena malu akhirnya dapat bernafas lega dengan kepergian Hanny. Hanny mengangkat bahunya dengan muka cemberut kemudian membalikkan badannya dan keluar ruangan.

"Kok kamu ngomongnya gitu sih Ga! Kita kan nggak pernah jadian!"

"Hehe... Maaf, maaf banget. Habisnya Hanny pasti bakal nuduh yang enggak-enggak. Lagian kamu mau kan jadian sama aku? Kamu kan penguntitku!"

"Apaan sih! Enggak ah! Hanny bohong tuh. Jangan dipercaya!"

Dirga tertawa dengan renyah melihat tingakah ku yang terlihat serba salah. Aku jadi malas melanjutkan menulis laporanku. Apalagi sekarang wajah Dirga
berpose sok imut di depanku.

***

"Gila nih! Ratu jadian sama raja!"

Salah seorang temanku yang selalu sinis ini menyambutku dengan cibiran tak sedap. Mau dikata jadian atau tidak, kejadian kemarin pasti menjadi bahan pembicaraan.

"Enak banget sih hidup lo! Kaya, cantik, pinter, punya cowo tajir! Lo manusia apa malaikat sih, sempurna banget! Hidup lo kayak di sinetron tau nggak!"

Aku tak menghiraukan ucapan Aleaa yang selalu iri kepadaku ini. Aleaa menggap hidupku sempurna. Padahal aku tak pernah merasa seperti itu, kecuali karena Dirga. Aku merasa hidupku sempurna.

***

Ruang sidang tiba-tiba menjadi sangat ramai saat mama menangis. Aku yang tak ingin menjadi budak mama lagi dan aku tak ingin menatapnya. Ruangan sidang berukuran 5x6 meter ini masih tertutup rapat dengan suara keributan yang bergema.

Suara mama menjadi semakin parau. Rasanya aku ingin menangis. Aku merasa bersalah. Tetapi mama lah yang seharusnya disalahkan. Bukan aku. Aku kemudian berdiri.

"Escha lelah dengan acting mama selama ini. Sudah ma. Cukup!"

"Acting? Mama panas-panas cari buku buat penelitian kamu dan kamu bilang acting? Selama ini kamu anggap apa pengorbanan mama?"

"Aku lebih banyak berkorban daripada mama."

Nafas mama terdengar terengah-engah dengan wajahnya yang kini menjadi merah. Mama ikut berdiri. Sedetik kemudian ambruk. Persidangan sementara ditutup karena keadaan mama.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang