CHAPTER TWENTY TWO

142 10 0
                                    

Perpisahan itu adalah hari dimana perasaan sepi akan mulai mengisi hati. Meski begitu, semua kekosongan akan mulai terisi lagi dengan hal yang baru, yang menyembuhkan.

Meski semesta memisahkan, cinta, kasih tak akan pernah hilang.
------------------------------------

Baru saja tiba di halaman rumah sakit. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku segera melihatnya. Ah, bukan telepon ternyata. Tetapi hanya sebuah pesan. Aku menatapnya lekat-lekat. Pesan ini dari Mas Kiki. Jarang sekali Mas Kiki mengirim pesan jika tidak penting. Aku kemudian membuka dan membacanya.

"Neng Escha, tolong ke rumah sakit ya. Papa neng, butuh neng. Keadaannya sedang kritis, nyonya tidak bisa dihubungi dari tadi!"

Apa? Papa kritis dan mama tidak ada?Aku segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan Mas Asa.

"Escha ada apa? Cha..."

Aku tidak lagi mendengar suara Mas Asa. Karena aku terus berlari menuju ruangan dimana Papaku sedang dirawat. Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaan Papa. Dengan sekuat tenaga aku menahan tangisku agar nanti Papa tidak melihatku dalam keadaan yang lemah.

Tiba juga akhirnya aku di ruangan putih bertuliskan VIP. Ruang dimana Papaku sedang terbaring lemah dengan selang-selang yang melilitnya, serta mesin besar yang membantu kelangsungan hidupnya.

Mata Papa terbuka, tetapi detak jantungnya terlihat terus melemah. Aku menghampiri beliau perlahan. Aku duduk di samping ranjangnya sambil tersenyum dan masih menahan tangisku.

"Papa, Mari mohon Papa bertahan! Mari butuh Papa! Nggak ada lagi tempat buat Mari buat berkeluh kesah selain Papa. Mari janji, nggak akan cengeng lagi. Tapi Mari mohon, Papa tetap di sini ya sama Mari? Papa pasti kuat!"

Aku melihat bibir papa tersenyum. Mesin EKG yang ada di seberang sana memerlihatkan bahwa detak jantung Papa sudah naik dan menjadi normal lagi. Papa mulai menggerakkan tangannya mencoba melepas alat bantu pernapasan.

"Papa, udah jangan dilepas!"

Tapi Papa tetap melepasnya. Seorang perawat membantu Papa melepaskannya. Papa terlihat mencoba berbicara denganku. Suaranya terdengar lirih.

"Terima kasih ya sudah lahir menjadi putri Papa yang baik. Papa bangga sama kamu. Jangan kecewakan Mama kamu. Kamu itu anak yang kuat Mari! Jangan sedih waktu Papa pergi. Dikehidupan selanjutnya, mari kita bertemu lagi!"

Aku benar-benar tak mengerti tentang apa yang Papa ucapkan.

"Papa, ngomong apa sih! Lihat deh, detang jantung Papa udah normal. Papa bentar lagi sembuh, kita pulang, jalan-jalan bareng! Jangan ngomong yang enggak-enggak deh!"

Papa kemudian tersenyum dan menatapku dengan lekat.

"Tapi kamu janji, bakalan turutin permintaan Papa tadi?"

Aku mengangguk. Papa tersenyum lega. Tiba-tiba mesin EKG itu memerlihatkan bahwa detak jantung Papa semakin lemah. Dan....





























....pipppppp.





























"Papaaaa... Papa jangan pergi! Mari butuh Papa!"

Kini hanya sebuah garis yang ada di layar itu. Dokter segera memasuki ruangan dengan membawa defibelator. Alat-alat itu dipasang-pasangkan. Kemudian dioleskan gel pada alat yang berbentuk seperi seterika itu.

"200 joule!"

Kata sang dokter kemudian menempelkannya ke dada Papa. Badan papa terpental ke atas.

"300 joule!"

Kata sang dokter lagi. Ini adalah percobaan yang terakhir. Namun tidak juga berhasil.

"Maaf mbak usaha kami sudah cukup sampai di sini, sekarang memang sudah tiba waktunya. Mohon bersabar, dan tabah karena beliau sudah beristirahat dengan tenang."

Aku tak percaya dengan ucapan dokter itu. Aku mengguncangkan tubuh Papa berharap akan ada keajaiban yang datang. Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku.

"Escha, kamu yang sabar ya?"

Dia adalah Mas Asa. Aku tahu dia sedari tadi berada di luar ruangan bersama Mas Kiki. Aku hanya mengangguk. Meski aku sedih. Bahkan sangat sedih. Aku berusaha tegar. Bahkan untuk pertama kalinya aku tidak menangis hari ini karena kepergian seseorang yang aku cintai. Ya, aku tidak menangis. Tapi yang ada di dalam hatiku sangatlah pedih.

Tiba-tiba saja aku teringat Mama. Kemana Mama pergi saat Papa sedang butuh Mama? Kemana Mama pergi di saat terakhir Papa seperti ini? Mama sudah keterlaluan.

Aku segera mengambil ponselku untuk menghubungi Mama.

"Hallo! Mama... bisa tolong ke rumah sakit sekarang?"

"Iya, ada apa? Mama lagi belanja sama bibi!"

"Papa butuh Mama... tolong Ma!"

"Iya, Mama segera kesana."

Aku mematikan sambungan teleponku. Aku benar-benar tidak menyangka. Saat situasi seperti ini, Mama justru sedang berbelanja. Hatiku benar-benar kacau. Hari ini terasa banyak sekali beban yang aku rasakan. Entah itu soal Dirga, Mama, juga kepergian Papa.

"Escha, kamu kuat banget sih? Aku bangga sama kamu! Jangan pernah nangis lagi, aku nggak suka kamu nangis kayak tadi. Mas Asa dan semua juga merasa kehilangan, tapi kita semua bakalan selalu ada buat kamu."

Aku menyunggingan senyuman.

"Thanks ya Mas. Aku janji kok, aku juga udah janji sama Papa!"

Mas Asa membalas senyumanku. Tidak lama kemudian perawat datang untuk mengurus jenazah Papaku.

------------------------------------

tbc.

Btw, gais gw mau curhat...













































H-2 KONSER BTS WINGS TOUR! KENAPA GUE GABISA NONTON YA ALLAH? EH IYA KAN MAU TES SBMPTN.

EXO-L DURHAKA GUE MAH. G. MULTIFAN! SANTAI, ANTI WAR. KITA DAMAI YA KAN?

DIH GAPENTING BGT GW. BYE.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang