CHAPTER FIVETEEN

365 23 2
                                    

Aku terduduk lemas di lorong rumah sakit. Bayangan saat papa operasi masih sangat jelas di kepalaku. Aku sangat takut kehilangan papa. Papa adalah orang yang sangat mengerti diriku. Di sampingku Ryan duduk. Dia berusaha mengajakku berbicara sedari tadi. Namun aku masih saja menanggapinya dengan dingin. Terus terang aku masih tidak nyaman.

"Escha, kamu sudah makan?"

"Kamu tahu nggak sih, aku dari tadi di sini. Aku duduk, dari pagi aku nunggu papa. Terus kamu liat aku makan emang?"

Aku rasa yang barusan itu sedikit berlebihan. Tapi biarlah. Ryan sungguh menyebalkan. Ah! Rasanya wajahnya sudah sangat menyebalkan. Meskipun dahulu 'katanya' kita teman masa kecil, rasanya aku tidak terlalu mengenalnya.

"Kalau gitu aku carikan kamu makan dulu ya? Kamu masih suka burger double keju tanpa tomat kan?"

Eh? Dia masih ingat menu favoritku? Hmm, ingatan yang cukup bagus. Aku tidak menjawab, hanya memberi isyarat anggukan kepala. Dia tersenyum dan segera pergi untuk membeli burger. Syukurlah, setidaknya sendiri mampu membuatku lebih nyaman.

***

"Ma... mama! Ini Escha ma. Escha mau bicara sama mama!"

Suasana hening. Tidak ada jawaban dari dalam ruangan itu. Aku tahu mama tidak mau bertemu denganku. Mungkinkah aku sudah berlebihan selama ini? Tiba-tiba aku menjadi goyah. Aku ingin mencabut semua gugatanku kepada mama. Aku tak tahan dengan sikap mama jika terus mengabaikanku seperti ini.

"Ma... mama! Escha mau ngomong penting sama mama. Escha boleh masuk kan ma?"

"Mas Kiki, tolong bukain mas! Escha mau masuk!"

Aku tahu dan bisa dibilang keterlaluan jika aku terus seperti ini. Harusnya diusia mama yang sudah semakin tua, aku lah yang harus merawatnya. Bukan Mas Kiki. Mas Kiki juga sudah memiliki keluarga sendiri yang tanggungjawabnya menjadi terbelah.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

***

Ponselku bergetar. Ternyata pesan dari Dirga. Dirga menanyakan keadaan papa. Aku segera menelponnya.

"Hallo, Dirga?"

"Hallo iya Mari, bagaimana kabar papa kamu? Papa sama mama aku khawatir!"

"Iya, sekarang udah baikan kok. Kamu tenang aja. Kamu lihat sendiri kan tadi? Semua baik-baik aja!"

"Syukur deh. Kamu udah makan?"

"Udah, kamu tenang aja Ga!"

Jujur saja, aku tidak ingin membuat Dirga merasa khawatir. Apalagi mama melarang dia kesini untuk sementara waktu. Entah apa yang membuat mama begitu membenci Dirga selama ini. Aku benar-benar tak bisa mengerti tentang apa yang mama pikirkan. Di seberang sana, Dirga terdiam cukup lama.

"Mari, soal tadi pagi... nggak usah terlalu dipikirin ya?"

Aku tersenyum.

"Ga, buat yang tadi pagi. Aku udah nggak mau mikirin lagi. Mikir itu capek!"

Dirga terdiam.

"Mari, kalau emang kamu nggak mau sama aku, aku nggak apa-apa kok. Kan kita masih bisa jadi temen!"

"Sorry ga, kita nggak bisa temenan!"

Sangat lama di seberang sana Dirga terus terdiam. Kemudian aku angkat bicara.

"Aku nggak mau mikir lagi, aku capek mikir ga. Ngapain aku mikir lagi, kita udah nggak bisa temenan. Karena sekarang aku pacar kamu!"

Sumpah demi apa! Aku bilang itu! Ya ampun, ini pertama kalinya. Jantungku begitu berdebar, juga gugup setelah menjawabnya.

"Maaf mbak, salah sambung!"

Aku dan orang di seberang sana itu langsung tertawa. Tiba-tiba Ryan datang sambil membawa kantong burger.

"Escha ini burgernya!"

Aku hanya mengangguk. Segera aku menutup telponku dengan Dirga. Dirga sangat mengerti posisiku. Dirga juga paham jika bisa saja mama memarahiku. Ah! Dirgaku, sangat pengertian. Dirgaku yang seperti papa. Aku suka Dirga.

Ryan memberikan burger spesial itu kepadaku. Aku segera menerima dan memakannya. Saat ini aku memang sedang bersama Ryan. Tapi hatiku jauh berada di sebuah rumah yang jaraknya beberapa ratus meter dari rumahku. Dalam pikiranku saat ini adalah pacarku, putra bapak Genta, si Dirga Ardisa.

"Escha, gimana burgernya?"

"Eh? Iya enak. Btw thanks, aku lupa bilang tadi. Ini enak."

"Kata mama kamu, kamu berprestasi terus ya? Nilai kamu juga selalu bagus."

Oh ya? Mama bilang seperti itu kepada Ryan. Apakah ini benar? Ah mana mungkin? Bukankah mama selalu memarahiku dan tak pernah puas dengan pencapaianku?

"Enggak kok. Biasa aja. Gimana kabar keluarga kamu?"

Aku mulai basa-basi agar dia tidak merasa terlalu tertekan dengan dinginku. Dia sudah baik padaku. Apa salahnya jika aku membalasnya. Meskipun aku sebenarnya tidak terlalu nyaman.

Ryan tersenyum.

"Keluarga aku baik-baik aja. Mama, papa, kakak aku semua sehat! Besok kalau mereka sudah pulang dari Hungaria, keluarga aku bakanan ke sini!"

"Kakak kamu? Kok aku lupa ya ngomong-ngomong!"

"Oiya, mungkin kamu belum pernah bertemu dengan kakakku. Dulu waktu masih kecil kakak nggak tinggal bareng keluarga di rumah. Kakak tinggal sama kakek, nenek. Ini baru saja kakak lulus dari kuliah. Makanya papa sama mama juga ikut kesana buat wisudanya!"

"Oh begitu!"

Tiba-tiba saja Mas Kiki datang dan menghapiri kami. Mas Kiki bilang kalau papa sudah sadar dan kami berdua disuruh masuk ke kamar papa.

-----------------------------------------------

Author Note:

Assalamualaikum... :)))

Pokoknya aku sayang kalian!

XOXO

(Cium peluk, cium peluk)

-Nadia Setiyabudi.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang