CHAPTER NINE

624 40 1
                                    

Dirga menuntunku memasuki pintu rumah sakit. Sepeda merahnya dibiarkan terparkir depan halaman rumah sakit. Keadaan sepeda itu kacau. Seperti keadaan rumah sakit.

Perawat dan dokter terlihat berlalu-lalang tanpa mempedulikan Dirga dan aku. Sementara itu pengeras suara terdengar nyaring.

"Code blue... code blue... ICU code blue..."

Apa yang sebenarnya terjadi. Dirga memerintahkanku duduk di sebuah bangku. Sementara ia sibuk meminta perhatian dari perawat dan dokter yang sedang sibuk.

"Dokter..."

"Suster..."

"Tolong teman saya terluka."

Tak seorangpun menghentikan langkahnya untuk menengok ke arahku. Mungkin sedang terjadi suatu kondisi darurat. Namun seorang penjaga resepsionis terlihat menatapku. Aku membalasnya dengan senyuman sambil menahan lututku yang perih.

Penjaga resepsionis itu berdiri dari tempatnya duduk. Kemudian berjalan ke arahku. Kemudian dia duduk di sebelahku.

"Maaf sedang terjadi Cardiac Arrest pada seorang pasien VIP yang datang pagi ini. Apa keluhanmu?"

"Cardiac Arrest?"

"Bahasa mudahnya adalah serangan jantung. Maaf, ada yang bisa mbak bantu?"

"Oh begitu. Ini mbak, tadi saya terjatuh."

Aku menunjukkan lututku yang terbalut kain. Dirga melihat ke arah kami kemudian duduk di sebelah kiriku dan berhenti meminta perhatian dari dokter dan perawat yang sedang sibuk.

"Sudah cukup rapi. Hanya perlu diberi alkohol sepertinya."

"Tapi, dia ngga kenapa-napa kan?"

Penjaga resepsionis itu tersenyum kepadaku.

"Tenang aja mas. Pacarnya nggak kenapa-napa kok. Saya juga suster disini."

Aku menahan tawa dengan pipi yang mungkin kemerahan. Sementara Dirga tersenyum malu melihatku. Tiba-tiba pintu rumah sakit terbuka. Orang yang tak pernah asing di mataku. Mama?

"Escha kamu kenapa di sini?"

"Mama? Mama ngapain di sini?"

Mama menatap wajahku kemudian mengalihkan pandangannya pada bagian tubuhku yang terbalut kain-kain. Sedetik kemudian ia menatap Dirga dengan lebih tajam.

"Kamu apakan Escha? Kamu nggak sadar maksud saya selama ini?"

Dirga menatap mamaku dengan tatapan bersalah. Aku tahu Dirga sangat menyesalinya. Tapi Dirga tak melakukan ini dengan sengaja.

"Maaf tante, tadi sepeda saya..."

"Udahlah ma, ini cuma jatuh biasa. Escha nggak kenapa-napa. Jangan ribut di tempat seperti ini. Memang mama kenapa di sini?"

Mama kembali menatapku. Wajahnya yang memerah karena amarah kini membaik. Nafasnya sedikit terkontrol.

"Papa sakit."

Seketika tubuhku merasa lemas. Aku langsung terduduk di lantai. Sedetik kemudian aku menatap mama dengan tatapan tidak percaya. Baru saja aku berangkat sekolah dan semuanya baik-baik saja.

"Mama nggak serius kan?"

Mama tak menatapku. Mama tak menjawab pertanyaanku. Cardiac arrest tiba-tiba muncul dalam benakku. Jangan-jangan pasien itu adalah papa.

"Papa kena serangan jantung lagi kan ma? Kenapa mama nggak jawab pertanyaan Escha!"

Setengah berteriak aku bertanya kepada mama. Namun yang keluar tak hanya kata-kata. Ternyata juga air mata.

"Kamu sekarang sekolah! Dirga, bawa Escha ke sekolah! Awas kalau nilai kamu turun karena bolos!"

Aku kemudian berdiri. Kata-kata mama serasa menusuk jantungku. Mama sudah benar-benar tak waras.

"Ma! Escha mau lihat keadaan papa. Kenapa sih, selama ini yang ada di benak mama cuma nilai? Escha itu capek! Escha juga ingin normal seperti anak lain!"

Mama menatapku tajam. Sedetik kemudian mama menamparku. Orang-orang di ruangan menatapku dengan iba. Sebagian lagi merasa ngeri. Mungkin beberapa bahagia.

Dirga langsung menarik tanganku dan keluar dari rumah sakit tanpa mempedulikan mama. Ada fisikku yang terasa sakit, namun yang paling tersakiti adalah jantungku.

Tiba di halaman depan, Dirga menghentikan langkahnya. Dirga memelukku. Sekali lagi aku menumpahkan tangisku dalam pelukannya.

***

Aku menatap arloji dingin di tanganku. Sementara itu jam di ruangan yang tak berbunyi itu rasanya lebih cepat sehingga berbeda sepuluh menit dengan arlojiku. Hari ini, aku sudah boleh menengok mama.

Mama masih belum sadar. Entah apa yang terjadi dengan mama aku tidak tahu. Setelah kehilangan dua orang yang aku sayangi. Kini aku benar-benar takut kehilangan mama.

Meski sejak kecil aku membenci mama. Meski mama berlaku tak adil kepadaku. Namun setiap ia menatapku selalu penuh kasih.

Biarpun aku boleh menjenguk mama. Aku memiliki satu hal yang lebih aku takutkan kepada siapapun. Aku takut jika mama terbangun dan tak mau lagi bertemu denganku. Karena akulah yang menciptakan luka dalam hati dan pikiran mama. Maafkan aku, ma.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang