CHAPTER FOURTEEN

510 26 7
                                    

"Papa... papa bertahan pa..."

Sepanjang jalan aku terus berdoa agar papa baik-baik saja. Hatiku benar-benar kacau. Entah bagaimana kalian mungkin sangat paham terhadapku kali ini.

***

"Mas, menurutmu aku salah nggak sih kalau menuntut mama?"

"Ya... entahlah. Itu tergantung dari sudut pandang sebelah mana."

Kami berdua terdiam. Kembali menyantap nasi padang lengkap dengan daun singkong dan rendang.

"Dia udah nggak ada mas. Dia udah nggak ada... Dia udah meninggal."

Aku menangis. Dia memelukku menenangkan.

***

"Mbak Escha, tadi papanya langsung dioperasi. Karena apa tadi saya teh kurang ngerti juga!"

"Terus sekarang papa dimana?"

"Masih di dalam. Nyonya Helena kemana?"

"Mama masih di rumah. Mama sedang sakit. Aku kasihan. Ya udah yuk mas, masuk aja. Nanti kita ke ruang tunggu sambil lihat operasinya dari monitor!"

Dirga menggenggam tanganku dengan erat. Ia tahu betul aku sedang sangat kacau. Aku segera memasuki ruang tunggu operasi. Dirga bersamaku. Sedang Mas Kiki ada di belakang kami.

Ruangan yang terasa dingin. Membekukan hampir semua pikiran kacau dalam kepalaku. Apa aku salah tidak memberi kabar ini kepada mama? Ah tidak. Ini demi kesehatan mama juga.

Sebentar-sebentar aku memerhatikan layar yang ukurannya 23 inch itu. Pisau operasi, jarum, gunting, tangan, dan darah semua nampak bersatu, menari, menjahit bekas sayatan.

Tiba-tiba darah tersembur. Semua tampak panik. Dokter itu segera bertindak. Dirga menggenggam tanganku lebih erat lagi. Sementara aku ingin menangis. Aku sangat takut ini tidak akan berhasil. Aku takut papa pergi.

"Mari, dengerin aku. Kamu harus percaya pada dokter itu. Papa kamu akan baik-baik saja. Mereka pasti bisa."

Seperti ia dapat membaca tentang apa yang aku pikirkan. Dirga terus berusaha meyakinkanku. Ya, aku yakin semua akan baik-baik saja. Papa pasti akan segera sembuh.

Aku menatapnya sambil menangis. Sementara Mas Kiki masih fokus dengan layar itu.

"Mbak! Berhasil mbak!"

Aku segera menengok layar itu. Syukurlah. Pendarahan itu berakhir dan semua berjalan dengan baik. Dirga tersenyum padaku. Dan entah untuk ke berapa kalinya, aku memeluknya erat.

Setelah hampir selesai, kami bertiga keluar dari ruang tunggu. Sementara papa masih butuh sedikit perawatan akhir. Ketika aku keluar, aku melihat mama berjalan dari lorong timur.

Aku dan Dirga segera menghampiri mama yang baru saja datang. Aku segera melangkah untuk memeluk mama. Tapi sebelum aku berhasil meraih tubuhnya. Tiba -tiba sebuah tangan yang dulu selalu menggendongku, tangan yang dulu penuh kasih sayang itu tiba-tiba menjadi penub amarah dan mendarat di pipiku. Mama menamparku.

"Kamu pikir kamu jagoan?"

"Maaf tante, ini ada apa?"

"Kamu jangan ikut-ikut ya? Ini urusan saya sama anak saya!"

Aku memegang pipiku. Rasanya panas, perih, dan paling sakit ada di hati. Aku ingin menangis tapi tak mampu. Aku harus kuat. Aku harus kuat.

Aku sangat mengerti jika mama marah karena aku tak memberi tahunya soal ini. Tapi aku lakukan semua itu demi kesehatan mama. Aku tahu mama sangat lelah setelah semalam menunggu papa.

"Escha minta maaf ma, tapi Escha nggak bisa minta mama kesini. Escha tahu mama lagi capek."

Mama diam.

"Dirga kamu pulang saja! Saya mau bicara sama Escha!"

"Baik tante. Saya duluan. Maaf mengganggu!"

Jujur saja aku sangat berat jika Dirga harus pergi. Aku takut tidak ada orang yang akan membelaku di hadapan mama. Sedikit demi sedikit, Dirga mulai jauh dan hilang dari pandanganku setelah dinding berwarna putih.

Pandanganku teralihkan oleh sosok laki-laki sebayaku. Laki-laki itu berdiri di belakang mama. Entah sejak kapan aku tak mengerti. Apalagi tujuannya, aku semakin tidak paham.

"Escha dengerin mama. Pokoknya mama larang kamu buat banyak main sama dia! Kamu juga udah bohong sama mama. Pakai tidak kasih kabar segala! Kamu pikir ini lucu?"

"Baik ma, Escha minta maaf. Tapi papa nggak kenapa-napa kok udahan!"

"Iya deh. Kali ini mama maafkan. Lain kali jangan gini lagi. Ya udah mama tinggal masuk dulu. Kamu ngobrol aja sama dia!"

Mama menujuk anak laki-laki itu dan segera masuk ruangan papa.

"Hai! Aku Ryan. Anak dari Ibu Sesania dan Ayah Martin. Masih inget kan?"

Oh, jadi ini anaknya Tante Sesa yang dulu katanya temen main waktu kecil.

"Dikit hehe." (Padahal aslinya lupa, soalnya cuma denger lewat cerita)

"Yang tadi itu pacar kamu ? Atau..."

"Iya. Itu pacar aku."

"Gimana keadaan papa kamu?"

"Baik."

"Kamu masih sering main tamagotchi nggak?"

"Enggak, ga jaman!"

"Masih suka makan permen karet nggak?"

"Enggak."

"Gitu ya. Kamu sekarang sudah banyak berubah. Makin cantik!"

Benar-benar membosankan. Aku tiba-tiba teringat Dirga. Ya ampun! Aku belum menjawab pernyataan dari Dirga!

-----------------------------------

XOXO

(Peluk cium, peluk cium)

-Nadia

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang