chapter 7 : pemaksaan farel

10.2K 575 3
                                    

Tidak ada yang memulai pembicaraan dalam perjalanan menuju kantin sebelum Adela menghentikan langkahnya. Chika dan Clara menoleh dengan pandangan bertanya. "Lo satu keluarga sama kak Bram, Chik?" tanya Adela. Ingin menuntaskan rasa penasarannya semenjak dibarisan tadi pagi.

Chika melongo. Masih ingat ternyata. "Entar deh sambil makan aja. Takut keburu penuh" Chika berjalan mendahului Adela dan Clara.

Adela mencibir di belakang Chika.

***

[Kantin]

Mereka termasuk kedalam orang orang beruntung. Di ramainya kantin, mereka dapat menemukan meja kosong dengan cepat.

Mereka sama sama terdiam saat sudah menduduki bokong mereka di bangku kantin.

Chika memecah keheningan diantara mereka dengan berdiri di sisi meja. "Pada mau mesen apa? Biar gue yang mesenin" katanya.

Adela menusuk perut Chika dengan jari telunjuknya. "Bayarin dong, bayarin"

Chika menghentikan tangan Adela yang dari tadi terus menusuk nusuk perutnya. "Gak mau" katanya.

Adela mencubit perut Chika gemas. "Sekali aja" rayu Adela.

Chika menghembuskan napasnya kasar. " sekali aja" Chika memperingatkan.

Mata Adela berbinar. "Siap, bu bos" Adela mengangkat tangannya. Berbentuk hormat. Chika geleng geleng.

Nada suara Chika melembut kearah Clara, "Lo pesen apa, Ra?" Chika bertanya.

Clara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menunjukkan wajah tak enak, "Tapi, gue baya--" perkataannya di potong oleh protesan Adela.

"Ya masa dia doang yang di tawarin" Adela melirik Clara, "Gue ngga?!" kata Adela tidak percaya.

Chika menarik napasnya panjang. Ia berlaga ingin mencakar Adela. "Errr.. " Adela terbahak bahak melihat ekspresi Chika. "Lo mau apa?!" Chika bertanya jutek.

Adela kembali menutup mulutnya saat perkataannya di dahului oleh Chika. "Kalian belum kenalan kan.. By the way?"

Clara melirik Adela. Lalu tersenyum canggung yang Adela balas dengan pelototan. "Emh.. Iya, Chik" Clara menjawab ragu.

Adela menyerongkan badannya kearah Clara. "Oke, kenalin nama gue Adela. Dan nama lo Clara, gak perlu ngenalin--" Adela kembali menatap Chika, "Udah. Sekarang, lo pesenin gue batagor sama teh botol. Pergi pergi, hus hus" Adela mengibaskan tangannya, mengusir Chika secara tidak kemanusiaan.

Chika melongo. Ia kaget, karena ternyata Adela dapat berbicara secepat kereta elektrik. Dengan mata yang masih kosong, Chika mengangguk lalu memutar tubuhnya.

Chika berhenti melangkah saat tiba tiba Clara menggenggam pergelangan tangannya. "Biar gue bayar sendiri, ya?" Clara memohon.

Adela menarik tangan Clara kasar, sehingga Clara kembali duduk. "Udah, sekarang lo beli batagor dua, teh botol dua buat gue sama Clara" Adela mendorong pelan punggung Chika.

Chika melangkah dengan heran. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ini, dia terlalu bodoh ya?.

Chika melangkah menuju penjual Batagor yang tidak terlalu ramai.  "Bang, batagornya tiga, sama teh botol tiga" Chika mengangguk saat pesanannya kembali di sebutkan. "Tolong ke meja nomor 8 ya".

Chika berjalan kembali keteman temannya saat ia diminta menunggu di mejanya oleh pedagang.

Chika sedikit berteriak saat tangannya di genggam dengan kasar. Lalu di tarik menjauh dari keramaian kantin.

Jantungnya berdetak dengan cepat karena terkejut. Beberapa lama, Chika baru tersadar jika ia dibawa kabur. Chika mencoba melepaskan genggaman tangan tidak di kenal ini. Namun, genggamannya terlalu keras untuk di lepaskan. "Ow.. Sakit--lepas" Chika meringis.

Chika hampir terjatuh karena langkah orang di depannya terlalu cepat. Ia sudah ingin menangis meraung raung saat ini juga.

Chika berkali kali mencoba melepaskan. Bukannya terlepas, pergelangan tangannya malahan semakin sakit. "Pelan---pelaan" Chika memohon saat dirinya menaiki dua anak tangga sekaligus. Padahal, orang di depannya seperti biasa, menaiki satu persatu. Namun, dalam tempo yang cepat.

Chika mengambil napas berlebihan, saat orang di depannya berhenti untuk membuka pintu di depan mereka. Chika tidak perduli mereka ada dimana sekarang. Terpenting, paru parunya harus diisi oleh oksigen.

Mereka kembali berjalan cepat keruanga--diralat. Bukan ruangan. Namun..ruangan tanpa atap. Oh, ini namanya rooftop.

Tangan Chika dilepas saat mereka berhenti di tengah tengah. Chika menarik napasnya berkali kali sambil mengusap usap tangannya yang perih.

Chika menarik napasnya panjang. "Mau lo.. Apa?" Chika mengutuk dirinya sendiri saat suaranya terdengar bergetar.

Orang di depannya berbalik. Saat itu, Mata Chika melebar. Namun ia tidak dapat berkata apapun.

"Kak Farel?!" gumam Chika yang hanya terdengar oleh telinganya sendiri.

Farel terlihat terkejut. Ia mempersempit jarak antara dirinya dengan Chika. Dada Farel kembang kempis. Farel menangkup kedua sisi wajah Chika dengan cemas. "Lo.. Kenapa nangis?" tanyanya khawatir.

Chika terkejut. Sejak kapan ia menangis? Dan kenapa ia menangis?

Chika menarik napasnya, "Tangannya sakiit" Chika terisak pelan.

Farel khawatir. Gadisnya menangis karena dirinya. Farel segera menarik tangan Chika mendekat kearahnya. Namun, Chika menghentakkan tangannya. "Sini, gue liat dulu. Katanya sakit."

Chika menggeleng berkali kali. Ia menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. "Mau apa--kesini?"

Farel menodongkan tangannya.  "Gue liat tangan lo dulu"

Chika kembali menggeleng, "Udah gak usah. Ini mau apa?"

Farel mengernyit beberapa saat. Namun, ia segera mengubah ekspresinya menjadi tersenyum lebar. "Oke..sekarang kita pacaran"

Chika berkedip kedip. Ia fikir ia belum terbangun. Namun, saat ia mencubit dirinya sendiri. Itu terasa sakit. "Eh?? Ngga mau, ngga mau" tolak Chika tanpa fikir panjang.

Farel mengangkat salah satu alisnya. "Gue gak minta. Gue cuma ngambil yang menjadi hak gue."

Mata Chika melebar. Haknya katanya? Apa hak Farel terhadap dirinya?. "Maaf kak, hak apa ya?" Chika berkata sopan, namun menyindir.

Farel mengangkat bahunya tak acuh. "Lo itu punya gue. Hak gue. Kurang jelas?"

Chika hendak membantah. Namun mulutnya dibekap tiba tiba oleh Farel. "Gue gak nerima alasan, apalagi penolakan--karena gue gak minta. Lo punya gue" Farel menatap Chika tepat di retina matanya.

Chika melepaskan tangan Farel yang masih setia membekap mulutnya dengan kasar. "Kakak gak sopan ya. Tangan kakak asin tau gak" Chika berdusta. Ia tak merasakan apapun tangan Farel. Ia hanya mencium harum mint yang sangat ketara.

Farel terkekeh pelan. Ia mencubit pipi kanan Chika. "Orang ganteng kaya gue, gak mungkin asin dong, sayang" Farel menggoyang goyangkan pipi Chika.

Chika meringis. Ia kembali menghentakkan tangan Farel dengan kasar.

Chika mengerucutkan bibirnya. Matanya kembali berkaca kaca. "Nanti-- gue bakal bilangin bang Bram. Tau rasa loh" Chika mengancam.

Farel bersidekap. Bibirnya membentuk senyuman sinis. "Kalau lo bilang Bram, gue takutnya kita bakalan---"

•••

Punya Instagram?
Follow ya (at. sherina.mp)

Look at Me! [ New Version ]Where stories live. Discover now