Isolate (e) : endapan rasa yang menguara

Start from the beginning
                                    

Revan melirik arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu beberapa menit lagi untuk Rian menuntaskan hal yang ingin dikatakannya. Revan menunggu.

“Lima menit lagi.” Revan memperingatkan. “Gue takut waktu lo habis, jadi lebih baik sekarang daripada ngomong hal nggak penting, lo bilang apa yang mau lo omongin. Habis ini gue masih harus latihan futsal.”

Revan mengusap wajahnya gusar. Diendurkannya otot tubuh yang menegang. “Waktu pertama kali gue ketemu Riana, waktu itu gue lagi dari kelas lo. Nemenin lo sama anak-anak karena waktu itu gue masih main bareng lo berlima. Gue masuk kelas telat, dan sampai di kelas, gue langsung ngerasa wah pas liat ada cewek yang rambutnya pirang, matanya biru berdiri di depan kelas gue. Ngenalin dirinya sebagai anak pindahan dari Jakarta.

“Dan karena waktu itu mungkin awalnya jam kosong, kelas berantakan, posisi kursi berserakan, gue terpaksa duduk sendiri karena Yosua—teman sebangku gue lagi sibuk ngumpetin kartu reminya di belakang. Tapi, nggak berapa lama gue ngerasa beruntung karena anak baru itu didudukin di sebelah gue. Apa yang paling beruntung dibanding semeja sama cewek cantik kayak Riana?

“Hari demi hari berlanjut, gue nyoba buat ngedekatin diri, atau minimal tau alasan kenapa dia harus pindah. Buntu, ternyata teman semeja gue orangnya jutek parah, nggak pernah mau natap lawan bicaranya, ngomong dalam sehari bisa diitung pakai jari, dan lebih suka ngebaca novel pas jam istirahat dimulai. Spesies antisosial tapi untungnya cantik.

“Dengan segala kebetulan, entah kenapa gue jadi makin deket. Gue nggak peduli dia ngeladenin gue karena terpaksa atau apa, yang penting gue bisa kenalan sama dia. Semuanya berlanjut, sampai sebulan dua bulan bahkan sekarang, naluri gue buat ngelindungin dia makin kuat. Gue nggak kenal betul dia, gue nggak tau siapa dia, gue nggak tau latar belakangnya, tapi gue ngerasa dekat, gue ngerasa ada sesuatu yang aneh waktu ngeliat dia sering ngasingin dirinya dari orang lain—“

“Gue ngebuang bensin mobil gue buat ke kafe ini nemuin lo, terus lo cuma mau curhat tentang gimana pertama kali lo ketemu Riana? Waktu gue terlalu berharga, gue masih ada latihan futsal. Kalau lo mau ngomongin pacar lo—“

“Gue nggak pacaran sama Riana.” Akhirnya kalimat yang sudah lama Rian tahan itu meluncur mulus dari bibirnya. Ia meringis, melanggar janjinya pada Riana untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya kepada Revan.

“Apa sih maksud lo? Tadi lo bilang ini bla-bla-bla, lo ketua OSIS, Yan. Ketua Kelas, orang nomor satu di sekolah setelah guru dan kepala sekolah. Jangan ngebuat gue marah sampai berniat ngebunuh lo sama kayak yang dilakuin Gerald dkk,” kata Revan, kali ini dengan serius.

“Riana pernah datang ke rumah gue. Kenalan sama Bokap dan Nenek gue. Dari keterangan dan keganjilan yang gue liat di Bokap, gue nanya ke dia, apa yang terjadi sebenarnya. Setelah kejadian Riana nginap di rumah gue itu, Bokap gue nyari asal-usul Riana. Siapa Mamanya, apa bener dia anak haram kayak yang Wira bilang—“

“Ini udah lebih lima belas menit.” Interupsi percakapan itu dihentikan oleh Revan yang tahu-tahu saja berdiri. “Gue nggak akan percaya. Gue harus ikhlas lo pacaran sama Riana. Cewek nggak Cuma dia. Orang nggak Cuma dia, gue masih pantes dapatin yang lain.”

“Tapi gue nggak mungkin pacaran sama adik kembar gue sendiri!” seru, Rian. Ia ikut bangkit, menjambak rambutnya sendiri. “Gue salah nafsirkan perasaan ingin ngelindungin gue. Ternyata itu naluri saudara kembar. Sewaktu umur gue delapan bulan, Bokap gue—Nash sama Nyokap gue—Tante argh, Mama Yusnila lagi mutasi dan pindah ke rumah barunya. Mereka naik angkot karena dulu kondisi keuangan keluarga gue emang nggak mendukung. Semuanya berjalan baik-baik aja sampai akhirnya angkot itu kecelakaan dan ngebuat Bokap sama Nyokap gue kepisah. Karena kita kembar, ternyata Nyokap gue ngegendong Riana sementara gue digendong Bokap.

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now