Bab 1 - Kedatangan Sang Alpha

18.9K 784 110
                                    


Keluar dari lift eksekutif, Gavin berjalan ke arah lobi, hendak menemui Kai yang baru tiba di hotel. Ia mengirim pesan dari ponselnya, mengatakan jika sudah di lobi. Tak lama, Kai membalas dia sudah tiba di depan hotel.

Gavin memasukkan ponsel, menatap ke depan. Saat itulah, tatapannya mendarat pada sosok mungil berambut cokelat sepunggung dan bergelombang, mengenakan kaos putih dan kemeja merah kotak-kotak yang diikat di pinggang. Tangan kanannya menyeret koper besar berwarna marun.

Gadis itu menatap tepat ke mata Gavin, hanya dua detik. Namun, sesuatu di mata hitam jernih itu menghentikan langkah Gavin. Ketika melewati Gavin, gadis itu tak menatapnya. Gavin berbalik dan dilihatnya gadis itu berjalan ke arah lift eksekutif.

Tamu VVIP? Dan kenapa tak satu staf pun mengantarnya?

Gavin menghampiri meja resepsionis dan menanyakan tentang gadis itu.

"Nona itu menolak diantar dan hanya menanyakan arah ke kamarnya, Pak. Nanti dia akan menelepon jika butuh sesuatu," terang salah seorang staf front desk. "Ah, dia juga mengatakan jika dia bekerja di salah satu fashion outlet di outlet street kita, Pak."

Gavin mengerutkan kening. Bekerja di fashion outlet dan tinggal di kamar VVIP? Terdengar lebih seperti pemilik salah satu fashion outlet-nya, menurut Gavin.

Pikiran Gavin akan gadis itu lenyap ketika seseorang menepuk bahunya cukup keras. Jika Gavin bukan werewolf, tulang bahunya pasti sudah patah, atau setidaknya remuk.

"Apa ini? Kau bilang akan menjemputku di depan," cibir Kai.

Gavin mendengus. "Apa masih kurang banyak staf yang menyambutmu di depan?" Gavin menepis tangan Kai di bahunya. "Dan jangan manja. Kau bahkan tidak tersesat," balasnya meledek. "Kiel saja tidak pernah tersesat bahkan ketika masih merangkak."

Kai tergelak. "Dia belakangan semakin kuat. Aku tak tahu bagaimana kekuatannya bisa tampak seawal ini."

"Tentu saja. Dia calon Alpha, kan?" Gavin tersenyum. "Omong-omong, mana anak itu? Dia dan Eris tidak ikut?"

"Kiel mengajak ibunya pergi ke taman. Tadinya dia malah mengajak ke hutan," dengus Kai geli.

"Wah ... khas Carlson," celetuk Gavin. "Kau mau pergi ke suite-mu atau menunggu mereka?"

"Ah, ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu. Kita bicara di ruanganmu saja," ajak Kai.

"Ada masalah?" Gavin mengerutkan kening.

"Segera," jawab Kai seraya meringis. "Dan maaf, aku harus melibatkanmu lagi dalam ini."

"Aku sudah terbiasa," balas Gavin. "Ayo, pergi. Sebelum Kiel datang dan mengajakku latih tanding."

Kai tergelak, tapi kebanggaan tampak jelas di matanya.

***

"Seseorang meminta tolong padaku," Kai memulai. "Tapi, aku belum bisa memberikan informasi lengkapnya padamu sekarang. Hanya, kau harus bersiap-siap."

"Oke. Apa yang dia minta darimu?" tanya Gavin.

"Menyingkirkan seseorang."

Jawaban Kai mengejutkan Gavin. "Apa orang itu sudah gila?"

Kai mendengus pelan. "Mungkin. Tapi, sepertinya ia tidak dalam posisi untuk menentukan jalannya sendiri. Karena itu, dia meminta hal segila itu padaku. Bukan pada pembunuh bayaran terbaik, tapi padaku."

Wolf in Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang