Chapter 22

2.7K 272 65
                                    

Zayn benar-benar marah.

Sudah berulang kali Bianca mencoba menghubungi nomer milik Zayn namun tetap tidak diangkat. Untunglah peran Niall sebagai sahabatnya tidak sia-sia, karena pria berambut pirang itu memberitahu alamat hotel tempat Zayn menginap selama berada di Amerika Serikat. Setelah bertanya kepada resepsionis hotel, kini Bianca berdiri di depan pintu bernomer 205.

TokTokTok

Tidak ada yang membukanya. Bianca tidak mau menyerah. Sekali lagi.

Tok…TokTok

Lima detik setelahnya, pintu pun terbuka dari dalam. Bianca sudah sangat antusias namun sayangnya semua itu luntur ketika dia melihat siapa yang baru saja membuka pintu. Seorang perempuan berambut hitam yang hanya menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

“Benar ini kamar Zayn Malik menginap?”

“Ya, benar. Kau ingin menemuinya?”

Bianca mengangguk.

“Tunggu sebentar.”

Bianca menempelkan punggungnya pada dinding. Kedua matanya tertutup. Dia tidak menyangka akan menemukan seorang perempuan di dalam kamar Zayn. Seketika seluruh keguguhannya untuk membujuk Zayn menjadi leyap. Dia sudah dikecewakan terlebih dahulu.

“Apa kau bernama Bianca?” tanya perempuan itu ketika pintu terbuka penuh. Perempuan itu menggunakan gaun malam yang elegan. Sangat cantik.

“Ya, aku Bianca.”

“Maaf sebelumnya tapi Zayn mengatakan jika dia tidak ingin menemuimu.”

“Omong kosong!” Binca berontak, dia sedikit mendorong tubuh perempuan itu ketika menghalangi jalannya.

Bianca masuk semakin dalam dan akhirnya dia menemukan keberadaan Zayn. Lelaki itu berdiri di balkon yang terbuka, punggung lelaki itu terekspos dengan jelas, kulitnya terlihat cerah ketika terkena pantulan cahaya bulan purnama. Diantar jari telunjuk dan jari tengahnya terselip puntung rokok yang menyala sehingga menimbulkan asap.

Bianca melangkah semakin pelan tanpa menimbulkan suara, “Zayn.”

“Mau apa kau kemari?” tanya Zayn tanpa menoleh sedikit pun, “Tidak kah kau sedang menikmati bulan purnama bersama pembunuh itu?”

“Zayn..,”

“Aku mengatakan apa yang sebenarnya bukan omong kosong lagi. Aku melihatnya.” Zayn memiringkan tubuhnya, memberikan Bianca tatapan yang sangat tajam. “Lalu apa lagi sekarang?”

“Kau harus mendengarkan aku, Zayn. Aku melakukan itu untuk..—“

“Untuk kelancaran misi kita. Itu ‘kan yang ingin kau katakan?” Zayn terkekeh pelan sambil membuang muka, “Kau sudah beribu kali mengatakannya namun tidak ada hasil apapun.”

“Maksudmu?”

“Bukan untuk kelancaran misi tetapi untuk kelangsungan hubungan kalian berdua. Bukan begitu, Bianca?”

“Tidak, sungguh.” Bianca menyentuh kedua lengan Zayn berusaha untuk meyakinkan lelaki itu namun Zayn menghempahkan tangan Bianca darinya dengan sedikit kasar.

“Jangan sentuh aku lagi!”

Bianca merasakan sakit yang teramat sangat ketika Zayn menolaknya untuk pertama kali. Apa lagi yang harus dia lakukan agar Zayn mau memaafkannya?

“Hey Tuan Malik!” suara itu membuka keheningan. Perempuan berambut hitam panjang itu berjalan menghampiri mereka—lebih tepatnya Zayn. Ketika perempuan itu berdiri disamping Zayn, tangan Zayn segera merangkul tubuhnya. Perempuan itu melirik Bianca sejenak, “Hai Bianca, maaf aku..—“

OVERLOADWhere stories live. Discover now