"Ayo, Dim." Ajak Om Rendra sambil menghentikan sebuah becak. Sejak percakapan itu sampai sekarang, kami baru berbicara lagi. Aku pun memutuskan untuk tak memikirkan hal itu sekarang, biarlah waktu yang menjawab harus sampai mana aku dan Om Rendra berakhir. Yang pasti bukan sekarang, terlalu cepat. Aku inginkan dia untuk waktu yang lama.

"Om, kita beneran naik ini?" Tanyaku tak yakin. Aku celingak-celinguk mencari taxi, nihil.

"Deket kok. Naik becak aja. Disini gak ada taxi, angkotpun gak lewat sini." Ucap Om Rendra membuatku melongo.

Bukan apa-apa, tapi ini lho. Abang becaknya sudah berumur plus kurus lagi. Aku tak tega jika harus membiarkannya menggoes pedal becak, mengingat berat badanku dan Om Rendra kan gede-gede.

"Pak, biar Om saya aja yang goes. Bapak duduk dibecak sama saya." Ucapku membuat Om Rendra melongo.

"Gak usah den, ini udah jadi kerjaan bapak. Masa bapak biarin penumpang bapak yang goes." Jawab abang becaknya tak enak hati.

Tanpa basa-basi, aku langsung menarik tangan abang becaknya hingga kami berdua duduk, barang bawaan pun sudah tersusun rapih di becak, tinggal berangkat.

"Ayok Om, goes." Suruhku.

Aku tertawa melihat Om Rendra misuh-misuh, tapi dia tetap menggoes pedalnya menggantikan tukang becak.

Aku memegang kuat tangan abang becaknya, yang tak mau diam dan terus memaksa agar dia saja yang menggoes.

"Ayok Om! Yang kuat doang goesnya. Semangat...semangat!" Ucapku, lalu menoleh ke abang becak. "Ayok pak, bantu semangatin Om saya yang ganteng ini, ayok semangat-semangat-." Tambahku. Mau tak mau abang becaknya ikutan bersorak menyemangati Om Rendra. Kulihat Om Rendra kini tersenyum, bahkan dia kadang tertawa sendiri.

Tak butuh waktu lama, becak pun berhenti disebuah gang setapak.

"Nih, Pak." Ucapku sambil memberi uang Rp. 50.000 ke abang becaknya.

"Gak usah den, saya kan gak goes. Udah gak papa. Bayarnya ke Omnya aden aja." Tolak abang becaknya.

Om Rendra menaikan sebelah alisnya.

Aku tetap memaksa, hingga abang becaknya mau. Saat dia akan memberi kembalian, tanganku mencegahnya.

"Gak usah, pak. Kembaliannya ambil lagi aja." Jawabku. Setelah itu, abang becaknya pergi dengan mengucapkan terimakasih berkali-kali.

"Ayok, bang becak. Kita lanjutin perjalanan." Ajak ku pada Om Rendra. Om Rendra bercakak pinggang kearahku, bibirnya tersenyum.

"Bentar. Om mau marahin kamu. Berani-berani ya kamu nyuruh Om goes becak, emang muka om kaya abang-abang becak?"

Aku ikutan bercakak pinggang, menantangnya. "Om gak liat kondisi tukang becaknya yang udah tua renta gitu. Om tega biarin abang becak yang kurus itu goesin Om yang badannya kaya gajah, ups." Ucapku sambil menutup mulut, pura-pura keceplosan.

"Dimass---" Om Rendra menggeram gemas, membuatku tertawa.

"Sorry, dorry, morry, mayory, strawberry Om. Aku cuma gak tega aja liat abang becaknya. Kasihan." Jawabku jujur. Sekarang Om Rendra mengelus kepalaku lembut, "Om bangga sama kamu. Kamu mulai dewasa ya sekarang."

Aku nyengir.

Aku dan Om Rendra berjalan menyusuri sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati pejalan kaki. Sebelum akhirnya kami sampai disebuah rumah sederhana.

"Rendra, ya ampun. Lama gak kesini. Mau dateng kok gak kabar-kabar?" Ucap seorang wanita berumur sambil memeluk singkat Om Rendra.

"Iya nih, Mak Ati. Baru sempet kesini lagi." Ucap Om Rendra. Lalu yang dipanggil 'Mak Ati' kini menatapku.

Aku langsung mencium tangannya sopan, dia mengelus pucuk kepalaku, meski risih aku hanya diam saja.

"Cah ganteng. Ini siapa Ren?"

"Ini Dimas, Mak. Anaknya mbak yu ika."

Mak Ati sedikit terkejut, lalu menatapku lama. Aku hanya tersenyum.

"Ya ampun, kamu anaknya Ika?" Ucapnya memelukku lama. Matanya terlihat berkaca-kaca, pelukannya pun semakin erat membuatku terharu.

"Ya udah. Ayo, masuk-masuk. Ayo Dimas." Ajak Mak Ati merangkul pundakku masuk kedalam rumah diikuti Om Rendra.

"Mak Ati." Panggil Om Rendra membuat Mak Ati yang tengah menyuguhi minuman menoleh.

"Emak sama Abah kemana? Kok rumah sepi. Yang lainnya kemana?" Tanya Om Rendra.

Mak Ati kini duduk disampingku, tangannya kembali mengelus pucuk kepalaku. Dia tersenyum, dan aku membalas senyumnya.

"Emak masih dipengajian. Abah masih dikebun bareng Bang Ipin. Nah, si Liam sama Yodi palingan main bola di lapangan." Ucap Mak Ati, kini tangannya mengelus punggungku. "Dimas umurnya berapa sekarang?" Tanya Mak Ati.

"17, Bu." Jawabku.

"Panggil Mak aja, Dim. Oh ya, kamu berarti seumuran sama Liam dan Yodi kalo gitu."

"Eh iya, Mak." Jawabku.

"Assalamualaikum. Ti, ada tamu?" Ucap seorang nenek tiba-tiba masuk kedalam rumah.

Bersambung.........

Kedepannya mau slow-update aja ya. Makasih lho yg udah mau ninggalin voment.

Dimas(ManXBoy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang