chap 1

3.4K 295 2
                                    

"Sekarang aku masih di jalan.. Mm, baru pulang kantor... Aku juga tahu sekarang jam sepuluh... Ya, jam sepuluh lewat dua puluh menit. Terserahlah."

Kookie melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang di tempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan kecil merah. Ia menghembuskan nafas panjang dengan berlebihan dan mengerutkan kening. Saat ini orang yang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah Park Jimin, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti kekasih yang protektif.

"Jimin, sudah dulu ya? Aku lelah sekali," Kookie menyela ucapan Jimin dan langsung menutup telepon. Sekali lagi, ia menghembuskan nafas panjang, lalu menatap kesal ponselnya.

Kenapa hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan? Tadi pagi ia sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian di omeli atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.

Kookie semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah di alaminya sepanjang hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa berpikir. Lagi-lagi ia menghembuskan nafas panjang.

Ini bukan pertama kalinya Kookie harus bekerja sampai larut malam, tapi hari ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana itu. Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.

Ia berhenti melangkah dan mendesah. "Bisa gila aku" gumamnya pada diri sendiri.

Kookie memandang sekelilingnya. Kota Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Kookie masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu disko terdengar samar-samar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang yang berbicara, berteriak dan tertawa.

Tiba-tiba Kookie merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam, "Baiklah," seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.

Kookie menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin di lakukan sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan masuk ke toko itu. Setelah memberi salam kepada ahjumma pemilik toko yang sudah lama di kenalnya, Kookie langsung berjalan ke rak keripik.

"Nah, Jungkook, ada masalah apa lagi di kantor?" tanya ahjumma pemilik toko setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang di letakkan Kookie di meja kasir.

Kookie tersenyum malu, "Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres." Ia membuka tas tangannya dan mencari dompet. Kemana dompet itu?

"Sebentar, Ahjumma. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi..." Kookie mengaduk-aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir. Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, bolpoin yang tutupnya sudah hilang, buku kecil yang agak lusuh, lipgloss, bedak padat, kunci, payung lipat, saputangan merah, tiga keping uang logam, ponsel, dua lembar struk belanja yang sudah kusam, bungkus permen kosong dan jepitan rambut.

"Kenapa tidak ada?" Kookie bergumam sendiri sambil terus mencari. Ketinggalan di rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa dompet?

From a Lie•vk (gs)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang