Toples 39 Mitsaqan Ghalizha

533 28 0
                                    


Mesjid tua tempatku mengaji sedari kecil, jauh sebelum aku pandai membaca surat cintaNya, kini menjadi saksi kegugupanku. Billa memegang gaun ungu muda yang dijahitnya sendiri untukku agar tak menyapu lantai. Aku merasa ini bagaikan mimpi indah dan aku tak mau bangun.

Darahku berdesir, detak jantungku semakin cepat, seolah-oleh tak mau ketinggalan dengan momen berharga dihidupku. Aku rapatkan kedua tanganku memohon kemudahan dari Nya. Kulihat Najip mulai gusar, sesekali dia melihat kearah pintu mesjid, seperti menunggu kedatangan seseorang yang penting dihidupnya. Aku berjarak dua sajadah dengan Najib, dia berada di hadapanku, duduk membelakangiku dan acara akan dimulai.

Aku duduk diantara dua orang adik perempuan Najip, yang masih SMA. Tiba-tiba pandangan semua orang tertuju kepada pintu mesjid, lalu ibuk-ibuk dibelakangku mulai berbisik-bisik. Aku menoleh kebelakang dan membidik seorang Ibu yang mengenakan kaca mata hitam dan memakai songket pandai sikek asli, yang terkenal kualitas dan raginya yang bagus.

Beliau melangkah masuk dengan hati-hati, sambil memperbaiki letak kacamatanya. Jelas terlihat beliau seorang yang sangat dingin, kemudian beliau duduk di belakang keluargaku. Hidungnya mancung serupa dengan Najip, mungkinkah ini ibu kandung Najip? Apakah doa-doa Najip dikabulkanNya untuk bertemu dengan wanita yang melahirkannya kedunia? Tapi kulit beliau putih.

Najip pun sekarang melihat sosok wanita yang paling dirindukannya, dia segera berjalan ke arah Ibunya. Dipeluknya sang ibu dengan menahan tangisnya, sementara sang ibu mengangguk-angguk dan kemudian melepas kacamatanya untuk menyeka air mata. Diambilnya tangan Ibu dan kemudian diciumnya, Ibu membalas dengan menepuk-nepuk punggung Najip. Sekarang Najip benar-benar siap untuk mengucapkan akad.

Ayah: Bismillahirrahmanirrahim, Muhammad Nazhif Bin Suprianto ...

Najip: Iya Ayah.

Ayah: Saya nikahkan dan kawinkan kau dengan anak kandung saya, Shakilla Binti Amran dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai.

Najip: Saya terima nikah dan kawinnya Shakilla Binti Amran dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai.

Sah... sah..., para saksi nikah mensahkan pernikahan kami diikuti dengan doa': alhamdulilahirabbila'lamiin, barakallahulakuma wa barakaa'lakuma wa jama'a baina kuma fii khair. Syukurlah hanya dengan sekali percobaan sebelumnya, Najip lancar, tepat dan jelas mengucapkannya, cukup dengan waktu 38 detik.

Kulihat bundo yang kini di sampingku menangis terharu, begitupun dengan Billa, aku sudah terisak. Akhirnya butiran air mata jatuh juga, kuraih tisu di hadapanku. Dengan setengah tak percaya aku maju kedepan, tempat berlangsungnya akad tadi untuk menandatangani buku nikah.

Jarak antara halal dan haram sangat tipis, tak kurang dari 38 detik aku resmi menjadi seorang istri sekarang.

Begitu besarnya pengaruh sebuah mitsaqan ghaliza, perjanjian agung yang diumpamakan dapat mengguncangkan ArsyNya. Perjanjian tersebut tidak hanya menyatukan dua insan, namun menyatukan dua keluarga besar. Perjanjian ini kelak akan dipertanggung jawabkan, sungguh berat rasanya memikul hal tersebut.

Ibu Najip datang kearahku dan mendekapku penuh erat, seraya berbisik: "Ibu sangat senang kau menjadi menantu Ibu, sekarang Nazif tidak sendiri lagi". Lalu beliau menyalami Ama Najip, begitu pun adik-adik Najip.

Najip menangis kecil, tak pernah kulihat sebelumnya dia selemah ini, ternyata dia juga bisa menangis, aku pun tersenyum simpul. Sekarang giliran Alpank merangkul punggungnya, malah menangis besar sambil terisak, Billa tertawa melihat tingkah Alpank.

***

Berikut cuplikan dialog kami setelah sah dalam ikatan suci nan indah tak pernah terbayangkan, tak pernah ku tau sebelumnya setentram ini rasanya:

"Kamu tau apa doa' pertamaku saat bertemu denganmu?" aku mengujinya.

"Aku tau, semoga kamu berjodoh denganku!" jawabnya nyengir.

"Salah besar, aku justru berdoa' supaya Allah tidak menitipkan rasa itu dihatiku." Sangkalku.

"Lho kok gitu?" Dia malah bertanya.

"Ya iyalah, karenaku tau, pasti akan terasa berat, ternyata emang benar." Lega rasanya curhat perdanaku tentang dia langsung di hadapannya.

"Benar apanya?
benar kalau aku mencintaimu karena Allah." Kini dia mulai sok ngegombal menatapku lama, wajahku merona, tersipu malu.

Kemudian dia berucap, "sekarang aku tau mengapa apa dan bundo tidak berjodoh."

Serempak kami berdua berkata, "karena kita berjodoh", kami pun tertawa bersama-sama sambil saling berangkulan. Dari belakang terlihat, kami seperti sepasang sahabat, yang sudah lama tak bersua.

***  

Ragi: Corak (bahasa Minang)


Setoples Mimpi (COMPLETED)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang