22 - "First Conffesion"

1.9K 130 18
                                    

Di dalam mobil keduanya sama-sama terdiam. Graciella menatap keluar jendela suasana malam kota itu yang sedang dituruni hujan. Hingga menciptakan genangan air di sekitar jalan yang mereka lalui. Beralih kepada cowok itu yang malah gugup berhadapan dengan Graciella. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengambil alih kemudi. Sementara, tangan yang satunya ia kepal kuat-kuat seakan menahan rasa gugupnya.

Setelah mengumpulkan nyalinya, dengan berani ia pun memanggil Graciella. "Grac?" panggilnya. Alhasil yang di panggil pun menoleh ke arahnya.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Gavin. Berusaha melawan ketakutannya.

Cewek itu tersenyum dengan menganggukan kepalanya pelan. "Ngomong aja."

"Tapi lo harus janji. Apapun yang keluar dari mulut gue, jangan bikin lo jadi beda sama gue."

Graciella memincingkan matanya lalu terkekeh pelan. Ia meraih tangan Gavin dan mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Gavin. Gavin yang melihat itu lantas tersenyum. Tapi tidak dengan hatinya, ia justru semakin gugup takut jika nantinya Graciella kecewa.

Cowok itu menghela nafas beratnya. Berani tak berani ia harus tetap mengungkapkannya. "Sorry karena gue ngelarang lo buat ngobrol sama Kaylene. Tapi apa yang gue lakuin itu bukan tanpa alasan. Gue takut, setelah lo kenal dan ngobrol banyak sama dia, lo jadi ngejauhin gue."

Graciella diam tak memberikan tanggapan apapun. Gavin bahkan tak berani menatapnya saat ini.

"Gue gak ngerti. Apa alasan dia dateng sekarang. Di saat perasaan gue udah bukan buat dia lagi. Kaylene mantan gue. Itu alasan gue pindah sekolah. Pengecut emang. Gue pengen ngejauhin segalanya. Mungkin gue masih bisa terima pas Kay mutusin gue dengan cara yang baik-baik. Tapi yang Kay lakuin itu bener-bener nyakitin perasaan gue. Dan tiba-tiba lo dateng. Lo sembuhin luka gue."

Sekali lagi cowok itu menghela nafas beratnya lalu tersenyum.  "Lo bener yang namanya jatuh tuh sakit. Dan lo udah ngajarin gue bangun cinta dengan memunculkan kembali sesuatu yang udah terlanjur gak ada menjadi ada. Awalnya gue emang mengenal lo sebagai cewek cerewet, ceroboh atau mungkin menjengkelkan. Tapi seiring berjalannya waktu, semua tanggapan gue tentang lo, malah bikin gue pengen terus ngejagain lo, ngelindungin lo.  Lo sadar Grac, gue suka sama lo.  Gue cuman terlambat menyadari dan kaku buat ngungkapin perasaan gue. Bukan karena gue yang gak peka. Gue emang gak lebih dari cowok cupu yang kesulitan ngakuin perasaannya."

Cewek itu tetap tak bergeming. Gavin tau, mungkin saat ini cewek itu masih untuk sulit mempercayai semuanya.

"Grac?"

"Oke. Gue tau lo pasti gak akan percaya sama semua omongan gue."

Lagi-lagi Gavin menghela nafas berat. Ia sangat gugup, secara gak langsung ia sedang mengakui perasaannya pada Graciella.

Gavin memejamkan matanya. Menghembuskan nafasnya pelan-pelan untuk melawan rasa gugupnya. "Gue sayang banget sama lo tanpa gue tau kapan gue udah sayang sama lo."

Masih tak ada jawaban. Gavin jadi bingung. Memangnya cewek kalau kaget bisa langsung diam mematung tanpa bersuara seperti ini.

"Grac?"

"Grac?"

"Grac?"

Karena cewek itu sama sekali tak memberikan respon. Gavin akhirnya memutuskan untuk membawa mobilnya ke pinggir dan berhenti sebentar.

Pantas saja cewek itu tak merespon. Dilihatnya Graciella sudah tertidur pulas dengan kepala yang menyender pada jendela. Gavin mendekatkan dirinya. Ia membenahi rambut Graciella yang menutupi wajahnya dengan lembut. Cewek dengan paras yang cantik, sifat ceroboh, bawel dan gak sabaran itu mampu merebut hati Gavin. Sadar atau tidak sadar yang jelas cowok itu tak ingin kehilangan cintanya lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini ia benar-benar ingin memiliki Graciella.

"Mungkin bukan saatnya gue bilang ini ke elo!"

***

Mobil Ferrari berwarna hitam itu berhenti di rumah besar bercat abu dengan pagar hitam yang tertutup. Beberapa saat kemudian seorang cewek seumuran Graciella membuka gerbang itu dan kemudian berdiri di depannya. Gavin melihat cewek itu lalu tersenyum simpul. Tak tega jika harus membangunkannya. Ia pun membuka pintu mobil itu dan langsung disambut oleh kembaran Graciella, Gwenny.

"Lo?"

"Gue kembarannya," balas Gwenny dengan cepat.

"Hm, Grac pernah bilang."

Gwenny memperhatikan cowok tinggi yang berada dihadapannya dari atas ke bawah. Dari awal ia bertemu dengan Gavin. Gwenny memang sudah tertarik dengannya. Kembarannya itu hanya sedang beruntung mendapatkan cowok seperti Gavin.

Gavin juga memperhatikan penampilan Gwenny dengan baik. Bukan saat Gwenny menjemput Graciella ke sekolah. Tapi Gavin merasa pernah bertemu dengannya sebelum itu.

"Lo model?" tanya Gavin kemudian.

Gwenny mengedikkan bahunya dengan ekspresi sombongnya. "Bisa dibilang gitu," jawabnya. "Grac yang nyerita?"

Gavin membalasnya dengan deheman. "Gue juga rasanya udah gak asing sama muka lo. Tapi entahlah gue salah liat kali."

"Kembaran lo tidur. Apa perlu gue gendong dia?" tanya Gavin sambil menolehkan kepalanya menunjuk pada mobil dibelakangnya.

"Jangan. Di rumah ada bokap nyokap. Entar lo kena marah lagi," cegah Gwenny.

Melihat perilaku Gwenny barusan, Gavin lantas menyimpulkan bahwa kembaran Graciella tak terlalu buruk seperti apa yang diceritakan oleh Graciella. Tapi entahlah, cowok itu juga belum tau banyak tentang kehidupan Graciella yang sebenarnya.

"Lo bangunin aja. Biar gue yang papah dia," perintah Gwenny sambil tersenyum tipis.

Cowok itu mengangguk. Membuka pintu mobil dan membangunkan Graciella. Setiap kali ia melihat Graciella. Yang ia pikirkan hanya bagaimana dirinya bisa menjaga cewek itu. Terlebih menjaga hatinya.

Ia menghembuskan nafasnya dari mulut. Lalu, menempuk-nepuk pipi Graciella dengan pelan. Cewek itu mengucek matanya dan membenarkan posisi rambutnya. Begitu ia membuka mata, ia langsung disambut oleh wajah Gavin yang jaraknya sangat dekat dengannya.

"Umm... Udah nyampe?" tanya Graciella.

Dengan bantuan Gavin, ia pun keluar dari mobil Gavin. Sudah ada Gwenny yang menatapnya dengan melipatkan kedua tangannya di dada.

Sebelum masuk kembali ke dalam mobilnya. Dengan kedua tangannya, ia menangkup pipi Graciella dengan mencetak sebuah senyuman diwajahnya. "Good night, partner," ucap Gavin dengan manis.

Pipi Graciella kian memerah malu. Menunjukkan ketawa kesengsem yang menambah kadar cutenessnya.

Gwenny meleguk salivanya berat. Adegan orang berpacaran didepannya itu membuatnya iri dan panas hati. Ia pun berdehem sebagai tanda bahwa ada dirinya dibelakang mereka.

Gavin yang mendengar itu lantas segera masuk ke dalam mobilnya. "Gue balik Grac, Gwen," pamit Gavin sebelum pulang.

Graciella berjalan menghampiri Gwenny. Ia memincingkan matanya, curiga dengan keberadaan Gwenny tadi. Siapa tau Gwenny berniat untuk merebut sesuatu darinya lagi termasuk Gavin.

"Lo gak genitin dia kan?" tuduh Graciella. Jari telunjuknya ia arahkan tepat pada Gwenny.

Kembarannya itu malah memainkan kuku berwarna merahnya. Tanpa menatap Grac, dia menjawab, "Dia yang geinitin gue."

Graciella memanyunkan mulutnya kesal. Ia pun memutuskan untuk pergi karena daya penglihatannya mulai memburam, atau biasa dibilang udah 5 watt. Dengan cepat ia menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

***

Part yang ini emang pendek. Sejujurnya ini tuh lanjutan dari part sebelumnya. Tapi gapapa deh.

Gue gak tau kalian baper apa engga sama cerita gue. Yaa selamat membaca aja💓💓💓

Janlup voment😘

My Music Partner [End]Where stories live. Discover now