9. Tiga Plester

16.2K 1.6K 58
                                    

Aku benar-benar akan memulai perang. Menambah sejarah terkait pecahnya kembali sebuah perang dunia. Sedari tadi, Arga berkali-kali menyodorkan piring nasi kuning ke arahku. Namun, aku sudah yakin untuk mengawali perperangan ini dengan sebuah pengabaian. Senjata yang sering kali dipandang sebelah mata oleh pihak lawan. Untuk menyiasati dan mengukuhkan pengabaian itu, aku sengaja meninggikan volume suara ponsel pintar milik Kak Nugi. Aku merayakan kemenangan awal di dalam hati. Arga sangat tampak akan segera mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Saat ini, dia berakhir dengan memakan sendiri nasi kuning seharga sepuluh ribu yang pada awalnya dia rencanakan untuk diberikan kepadaku. Beralih pada tindakan memakan sendiri pemberiannya itu, aku masih menyimpan sebuah tanya di dalam pikiranku. Ini belum waktunya istirahat, sekolah pun tampak sepi karena kegiatan belajar-mengajar yang tengah berlangsung, tapi kenapa Arga bisa sampai di sini?

"Udah kenyang gini kayanya enak juga kalau tidur." Arga merebahkan tubuhnya setelah melahap habis sepiring nasi kuning yang dilengkapi telur dadar beserta lauk pelengkap pada umumnya.

Aku menjadi merasa iba dengan Kak Nugi yang sangat peduli terhadap kelestarian saudaranya di sekolah ini. Karena, sang adik yang tidak tahu diri itu malah dengan santainya membolos ke UKS. Ruangan yang menyimpan berbagai peralatan kesehatan ini memang menjadi sasaran utama bagi para siswa yang sedang bosan berada di kelas. Terlebih, tidak ada pengawasan yang ketat untuk ruangan ini.

"Gue udah selasai ngerjai tugas jadi boleh ke sini. Bukan bolos. Hebat ya sekolah ini, hari pertama masuk udah belajar aja." Aku tersentak mendengar perkataan Arga yang lebih terdengar seperti jawaban dari pertanyaan dalam hatiku ini.

"Berhari-hari kejebak sama lo, gue udah hafal ekspresi lo kalau lagi mikir yang enggak-enggak tentang gue." Aku masih bersikukuh memerangi Arga dengan cara mendiamkannya. Aku juga tidak melirik sedikitpun ke arahnya.

"Lo udah tahu kan dari Dahlia kalau nyokap gue itu psikolog terkenal? Gue udah biasa kehidupan pribadi jadi bahan gosip cewek-cewek centil. Gue banyak belajar dari nyokap walaupun gue lebih tertarik buat neliti kejiwaan hewan. Lumayan, sekarang gue rada jago nebak kucing mana yang udah kebelet kawin atau nggak mengira-ngira kecoa mana yang bakal terbang. Lo tau gak? Sebenarnya kecoa yang terbang itu karena mereka lagi stres ngerasa manusia udah mau ngebunuh mereka. Kadang, gue kasian sama kecoa-kecoa itu, siapa sih yang mau hidup di tempat kotor. Gue juga miris aja ngeliat negeri ini, kenapa gak ada penangkaran hewan-hewan yang tidak diinginkan manusia, kayak kecoa, nyamuk, cicak, kalau sampe ada kan lumayan, pasti tiket masuknya murah. Gak kayak sekarang mau ke arena bermain aja udah mahal banget kalau ibu-ibu pasti lebih milih beli cabe..."

"Lo mending tidur, deh! Terus gak usah bangun-bangun lagi!" Amarahku dengan sangat cepat mencapai titik terdidih. Mendengarkan perkataan Arga yang sudah melanglang buana ke mana-mana itu membuat pusing menjalari kepalaku. Pertahananku terancam runtuh. Aku tidak bisa memperpanjang durasi peperangan dengan mengabaikannya lebih lama lagi. Melihat aku yang akhirnya bersuara, Arga segera merayakan kemenagan dengan tawa renyah. Dia memang sangat mahir membuatku ingin memusnahkan keberadaannya dengan cara apapun itu.

"Gitu dong, gue tuh paling gak bisa kalau dicuekin."

"Sana deh lo, balik ke kelas! Muak gue ngeliat elo! Pulang sekolah ini gue juga bisa laporin lo ke polisi."

Arga tiba-tiba saja mengambil posisi duduk lalu membuka satu per satu kancing kemejanya.

What?! Mata gue! Mata gue bakal tercemar!

Aku segera menutup mataku. Menangkal pemandangan yang sangat rentan menodai kesucian mataku.

"Sini dong, liat gue." Suara Arga terdengar begitu bersemangat menjailiku.

Tuan Rasa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang