31. Pikiran Buruk

15.1K 1.4K 8
                                    

Makasih udah sabar nunggu hari Sabtu😊 Selamat membaca.

--------

Baru kali ini suasana di sekolah terasa sangat membosankan bagiku. Dira yang duduk di sebelahku pun selama pelajaran berlangsung turut merasakan hilangnya semangat dariku ini. Seluruh teman kelasku mengetahui jika Arga berhalangan hadir karena sakit. Tidak seutuhnya berbohong, bukan?

Saat ini sudah jam pulang sekolah, aku dan Dira memutuskan untuk pulang bersama.

"Ternyata gini ya rasanya jadi lo selama ini, Dir. Gak satu sekolah sama Bian." Aku mencoba menyuarakan perasaanku secara tersirat.

"Yaa awalnya sih emang rada aneh, secara pas SMP sekelas mulu. Tapi udah kebal gue sekarang. Kan masih banyak temen-temen yang seru, Nes."

Aku mengangguk menyetujui pendapat Dira.

"Emang Arga sakit apaan sih? Gue kira dia gak bisa sakit."

"Nessa!"

Sebuah kebetulan yang membuatku tidak perlu bersusah payah mengarang cerita ketika suara Kak Nugi terdengar memanggil namaku.

"Pulang bareng aku aja ya, Nes. Kita perlu bicara."

Gawat, gak bisa, nih. Setelah apa yang dilakukan Kak Nugi ke Arga Sabtu malam itu ngebuat gue secara gak langsung jadi il-feel sama dia. Jelas-jelas dia gak ada rasa peduli sama Arga.

"Aku udah janji pulang sama Dira, Kak. Yuk, Dir." Aku sudah menarik tangan Dira namun langkahku terhenti ketika Kak Nugi turut menahan tanganku.

Aku sontak melepas tanganku dari kakak kandung Arga ini.

"Bisa denger omongan aku barusan, kan?" Aku mempertegas pernyataanku tadi yang lebih memilih pulang bersama Dira.

"Itu wajar kalau kamu marah sama aku, Nes. But please! Give me a chance ada yang harus kita omongin." Kak Nugi terlihat turut terpancing oleh ucapan sinisku dan membuat Dira melepaskan tangannya dariku.

"Dia udah segitu frustasinya, Nes. Baru kali ini suaranya pake oktaf setinggi itu. Kelarin dulu deh masalah kalian, gue duluan ya." Dira berbisik sebelum benar-benar meninggalkan aku dengan Kak Nugi.

"Mau ngomong apa sih, Kak?" Aku membuang mukaku dari Kak Nugi. Melihat wajahnya hanya akan membuatku kesal.

"Masalah Arga."

"Masih peduli?" Aku menyindir secara terang-terangan saat ini.

"Jelas aku peduli, dia adik aku." Kak Nugi kembali mengeluarkan suara tegasnya itu.

"Peduli? Kalau emang peduli seharusnya kakak ngelerai Arga sama Om Fardan. Dan wajah Arga nggak akan lebam separah itu. Seharusnya kakak gak ninggalin dia gitu aja, kakak gak ngeliat gimana terlukanya dia?" Aku sudah berani menatap tajam kedua mata yang dilindungi oleh kacamata itu.

"Kamu gak ngerti, Nes. Menilai sikap seseorang dari pandangan kamu tanpa ngerti posisi orang itu, jelas penilaian yang salah."

Aku merasa benar-benar membuang waktu, bertengkar dengan laki-laki ini di parkiran sekolah dan sudah membuat beberapa murid memandang curiga.

"Aku jelasin semuanya, sekarang ikut aku." Lagi-lagi Kak Nugi berusaha meraih tanganku. Namun dengan begitu saja aku berhasil menggagalkannya.

"Aku lagi gak bisa ngomong sama kakak." Tanpa menunggu tanggapan Kak Nugi, aku telah berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.

Tio!

Tak jauh di depanku ini, Tio tengah berdiri di depan pintu gerbang sekolah yang terbuka lebar. Aku bermaksud untuk menghampirinya dan menumpang ikut ke rumahnya untuk menjenguk Arga.

Tuan Rasa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang