12. Satu Pihak

16.4K 1.5K 58
                                    

Mendung memang pertanda hujan.

Belum rasanya sepuluh menit aku dan Arga menembus keramaian jalanan kota, namun kini hujan telah mengharuskan aku melewati waktu sedikit lebih lama lagi bersama Arga.

Arga memilih menepikan motornya di sebuah ruko yang tengah tutup hari ini. Aku segera turun dari motornya dan membuka jaket Kak Nugi yang telah sedikit menghindari kulitku dari rintik hujan. Arga? Dia basah akibat tidak mengenakan jaket, terlebih bagian depan tubuhnya.

Aku masih belum mengeluarkan suaraku semenjak terakhir aku menanyakan dia perihal SMS di kelas tadi. Saat ini aku dan dia hanya menikmati suara hujan dan langit yang bergemuruh.

Aku sudah sangat merasa bosan, hujan bukannya berhenti malah melebatkan diri. Aku mengeluarkan smartphone dari dalam tasku. Piano tiles pasti bisa membantu.

"Sial! Pake habis batre lagi!" Aku memasukkan kasar layar tipis itu kembali ke dalam tasku.

"Mau main ular-ularan?"

Mataku membelalak melihat bukti langsung dari segala hal yang dikatakan Dira mengenai Arga dan smartphone. Benar-benar telpon genggam saat aku kelas tiga SD.

"Lo anak tiri ya?" Hanya itu pertanyaan yang terpikir di kepalaku saat ini.

"Bukan." Arga menjawab santai dan mendekatkan kembali handphonenya ke arahnya.

"Kok abang lo bisa punya hp yang paling canggih dan lo malah dapat yang paling butut."

"Kegunaan hp apa? Nelpon. Sms. Udah kan? Intinya komunikasi, ini udah lengkap." Arga dengan santainya menjelaskan hal itu lalu memasukkan kembali handphonenya kedalam tas sekolahnya.

"Lo main internet?"

"Nyari tugas."

"Facebook?"

Arga menggeleng.

"Twitter?"

Juga menggeleng.

"Instagram?"

Kembali menggeleng.

"Hmmm.." Aku berpikir media sosial apa yang sedang booming-boomingnya.

"Gue cuma punya e-mail. Itupun karena dulu ada tugas komputer."

"Lo emang lebih pantas hidup di zaman batu, lebih tepatnya mesolithikum, tinggal di gua-gua terus tiap hari berburu makanan. Ini udah zaman modern, teknologi diciptakan buat mempermudah segalanya tapi elo, cuma sibuk sama buku sketsa lo itu."

"Gue bukan anti teknologi canggih. Gue masih main ps, gue gunain teknologi sesuai apa yang gue butuh. Ngapain juga ngabisin waktu di dunia maya, emang lo bayangan."

"Alah lo aja kali yang emang gaptek."

Arga hanya tertawa mendengar ucapanku. Lagi-lagi aku tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Dia bisa begitu dingin, menyebalkan, lucu dan masih banyak lagi. Tapi sejauh ini yang mendominasi adalah menyebalkan.

"Lo pasti udah tahu duluan kan kalau gue emang gak pake barang canggih?"

Aku mengangguk.

"Kayanya semua tentang lo emang udah jadi konsumsi publik apalagi cewek-cewek genit. Hati-hati aja kalau di kamar lo bahkan kamar mandi lo udah ada cctv yang diam-diam dipasang sama salah satu dari butiran-butiran fans lo itu." Aku kembali memasang jaket pinjaman dari Kak Nugi, udara semakin dingin.

"Lo sendiri?"

"Apa?" Aku tidak mengerti dengan pertanyaan Arga.

"Bukan salah satu butir fans gue?"

Tuan Rasa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang