xxiv. kecewa

2.5K 164 3
                                    

ARGI

Pagi ini Judan bicara panjang lebar tentang Jihan dan juga, lagi-lagi, membahas masalah keputusanku. Rasanya aku memang beruntung memiliki partner in crime yang tidak pernah lelah mengungkit kesalahan temannya.

"Ya, kesimpulan gue ngomong ini semua sih sebenarnya cuma mau bikin lo sadar kalau there is no chance for you."

"Itu kesimpulannya?" Tanyaku tidak percaya.

Judan mengangguk, "ngomong sana sama Jihan."

"Gue harus ngomong apa?"

"Ngakulah kalau lo kejebak permainan konyol lo sendiri." Jawabnya dingin.

Aku menatapnya kesal tapi menyetujui ucapannya dalam hati.

"Dia susah diajak bicara. Ketemu gue aja gak mau," kataku, menarik napas pasrah.

"Lo atasannya kali, Gi. Dia gak akan bisa selamanya ngehindarin lo."

"Lo yakin Jihan suka sama gue?" Tanyaku ragu.

Wajarkan kalau aku ragu meskipun Judan bilang dia tahu hal ini dari sahabatnya Jihan sendiri, karena selama ini sikap yang Jihan tunjukkan padaku selalu negatif. Dia bahkan terlihat sangat tidak suka padaku. Aku sadar sudah jadi sangat menyebalkan untuknya.

"Mangkanya gue suruh lo ngomong langsung ke dia. Lo ini sebenernya takut atau gimana sih!?" Bentak Judan tiba-tiba.

"Rasa takut ya pasti ada lah! Ini kan sangkut-pautnya ke nyatain perasaan!"

Dia diam menatapku yang melotot, "iya sih. Gue juga kemarin deg-degan banget pas nembak Fiya."

"Nembak lewat telepon aja berlaga nervous." Cibirku.

.

"Jihan gak datang lagi?" Tanyaku.

Widya menggeleng, "saya udah coba hubungin, Kang. Kali ini dia alasan mau pergi ke pasar."

Ini sudah rapat keempat kalinya tanpa Jihan. Dia selalu memberi alasan berbeda untuk izin sejak kemarin. Padahal akan ada acara yang akan dia pimpin.

"Acara tinggal lusa tapi si Jihan masih belum kasih kepastian bisa atau nggaknya dia pegang amanat." Celetuk salah satu di antara mereka.

Aku membuang napas kesal, "coba kamu minta kepastian sama Jihan sekarang, Wid. Bilang aja kita gak butuh jawaban 'gimana nanti'. Sekalian langsung di telepon aja."

"Nanti pulsa saya habis, Kang. Pakai HP Akang aja dong." Kata Widya.

"Jangan, gak akan dia respon." Jawabku cepat.

Iya, sama kayak panggilan telepon gue dari kemarin.

Tidak disangka yang lain malah menatapku aneh, "emang Kang Argi suka hubungin Jihan?"

"Bukan gitu. Maksudnya, nanti kalau pakai nomor saya pasti dia langsung kaget karena ketos yang telepon dia." jawabku tenang.

"Pakai HP kamu dulu, Wid. Nanti pulsanya saya ganti." Lanjutku.

Widya mengangguk dan pergi keluar untuk menelpon. Kalau bisa, aku ingin bicara dengan Jihan. Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar dari dirinya langsung.

Aku sudah beberapa kali menunggu di ujung koridor kelasnya atau di depan gerbang sekolah. Tapi dia tetap tidak terlihat. Sekalinya terlihat aku selalu berada dalam posisi tidak bisa mengajaknya bicara. Kadang aku ingin sekali menariknya jika dia sedang bersama teman-temannya, tapi itu bukan hal yang wajar. Bagaimana kalau apa yang dikatakan Judan soal gosip tentang aku dan Jihan itu benar beredar? Aku tidak mau tambah membebaninya.

"Dia jawab apa?" Tanyaku saat Widya sudah kembali.

"Dia bilang nggak bisa karena dia  ada acara penting lusa nanti." Jawab Widya.

"Acara penting?" Tanya Judan di sebelahku.

Widya mengangguk, "saya tanya acara apa tapi dia gak mau jawab, yang jelas penting banget katanya."

Seisi ruangan berdecak kesal. Aku pun sama. Tak menyangka sikap Jihan mengecewakan.

Aku membuang napas pasrah, "yaudah, saya kasih posisi ketuplak* ke Edo ya?" Tanyaku ragu.
*ketua pelaksana

Ah, sumpah kacau banget!

"Yakin bisa kayak gitu, Kang? Saya takut, saya kan gak terlalu ngerti. Terus yang tercantum di proposal kemarin gimana?" Tanya Edo sama ragunya denganku.

"Pasti bisa, Do. Kamu cuma perlu pastiin semua hal buat lusa udah siap, nanti saya yang bimbing. Toh ketua penanggung jawab tetap Argi, kalau ada masalah dia pasti bakalan bantu." Jawab Judan.

"Soal yang di proposal itu Pak Tatang pasti ngerti kok mau gak mau kejadian kayak gini pasti ada aja. Kalau ini sih biar Kang Argi aja yang menghadap langung ke pembina." Lanjut Judan sambil tertawa pelan di ujung kalimatnya.

Yang lain ikut tertawa mengasihani nasibku yang harus menghadap Pak Tatang yang galak itu sendiri.

"Kalau kayak gini, Jihan harusnya dapat peringatan kan Kang?" Tanya Widya.

"Dia bisa dipecat secara gak hormat kalau udah sampai menggampangkan amanat." Lanjut yang lain.

Aku menggeram dalam hati. Padahal sudah sejak tadi aku berdoa tidak akan ada yang membahas soal pemecatan.

"Kita gak bisa asal pecatlah, dia belum bicara secara jelas dan langsung alasannya 'malas' kumpulan dan gak peduli dengan amanat." Balas Judan.

"Kita gak tahu kan, bisa jadi dia memang ada niat mengundurkan diri. " Kataku.

"Kalau emang ngundurin diri ya harusnya dia kasih surat pengunduran diri aja, biar jelas." Celetuk Yusuf yang sejak tadi kuperhatikan diam saja.

"Kalau ada orang yang akan menjauh dari kita seperti Jihan saat ini, kita seharusnya merangkul orang itu. Ditanya ada apa dan kenapa. Bisa jadi kesalahan bukan ada di dia aja, kita juga punya peluang menjadi pengaruh kenapa dia menjauh. Bukan dibiarin begitu aja terus malah mendorong dia buat pergi. Yang saya dan kita harus lakukan itu mempertahankan keutuhan anggota, jelas?" Jelasku tak ragu menatap Yusuf.

"Jelas, Kang." Mereka menjawab kompak.

.

Sore ini aku memutuskan untuk pergi menemui Jihan di rumahnya. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapnya. Semua orang sudah gaduh membahas kapan pemecatan Jihan akan di sahkan. Aku harus apa? Baru diam sebentar saja mereka sudah menganggapku membela Jihan.

Setidaknya aku harus dengar langsung dari Jihan apa yang dia mau sebenarnya. Kalau memang aksinya menjauh dari BPHOsis ini karena aku, atau lebih spesifiknya 'perasaanya padaku', aku jelas akan sangat kesal pada Jihan yang tidak profesional.

"Permisi.." aku mengucap salam dan berkali-kali saling membenturkan besi pada gerbangnya yang tinggi.

Tidak ada jawaban. Rumahnya terlihat sepi.

Ponselku berbunyi. Panggilan dari Judan.

"Apa?" Tanyaku langsung.

"Jihan dirawat." Jawab seseorang di ujung telepon sana. Bukan Judan, tapi Fiya?

"Dirawat siapa?" Tanyaku bingung.

"Ih! Dirawat dokter di rumah sakit!"

"Jihan sakit!?" Tanyaku panik.

"Iya, mau ke sini? Tapi jangan bilang aku yang kasih tau."

"Iya saya ke sana sekarang. Makasih, Fiya."


Thank you so much for 800+ votes yaaaaa! :3 ayo naik lagi ayo😂

OSIS in LOVEWhere stories live. Discover now