viii. jujur?

3.6K 188 0
                                    

ARGI

Aku berdiri di sisi pintu gerbang sekolah, menunggu Judan yang sedang mengambil motornya di parkiran.

Langit gelap menghitam, hujan turun saat aku dan Judan sudah berada dalam perjalanan.

"Sialan, motor baru gue cuci" umpat cowok yang sedang menyetir di depanku.

"Neduh dulu aja," balasku sedikit berteriak.

Judan mengangguk dan berhenti di depan tukang bakso.

"Sekalian makan." kata Judan.

Aku mengikutinya, masuk ke dalam tempat makan yang agak ramai itu.

"Si Argi, Han!"

Aku menoleh pada seruan seseorang.

Jihan dan temannya-yang tadi berteriak- menatapku tanpa ekspresi.

"Aduh si Jihan, bukannya langsung pulang. Mangkal ya?" Judan yang tadi sedang memesan bakso sudah berdiri di sebelahku.

"Sembarangan aja nih kalo ngomong," sungut cewek itu sambil melanjutkan makannya.

Judan tertawa, "yaudah kita ikut makan di sini ya." katanya lalu menarikku ikut duduk disampingnya dan otomatis ekarang aku berhadap-hadapan dengan Jihan.

Kenapa deg-degan gini...

"Lusa saya gak mau jadi MC, titik" kata Jihan tanpa menatapku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Saya mau bantu dekor atau jaga stand aja, gak mau ngapa-ngapain,"

"Kamu udah di amanahin tugas itu, ya harus tanggung jawab." balasku berusaha tidak terpancing emosi.

Lagi-lagi masalah ini.

"Ya saya 'kan dari awal gak mau. Lagian yang lain dapet tugas ditanya dulu mau apa nggak, saya kan tanpa ditanya gitu dulu."

"Di sini saya pem--"

"Na-nah," Jihan meletakkan tangannya mengambang tepat di depan wajahku, "gak ada kata di sini saya pemimpinnya. Dimana? Di tukang bakso? Udah lewat teritorial sekolah, jadi lo bukan siapa-siapa di sini"

Judan menyenggol pahaku saat tanpa sadar aku sedang menggeram kesal.

"Terserah," kataku setelah mengatur napas yang sudah mulai memburu.

***

"Kayaknya lo harus belajar sabar ngehadepin anak buah lo yang satu itu,"

Mama datang membawa dua gelas teh panas saat Judan mulai bicara. Sahabatku itu terpaksa berdiam dulu di rumahku karena hujan yang masih belum berhenti.

"Anak buah siapa? Kamu jadi ketua geng, Gi?" tanya mama seraya pergi ke dalam rumah.

Judan tertawa, "anak osis maksudnya, tan." jawabnya sambil berteriak.

Jihan, ya. Cewek songong yang entah itu memang sifatnya atau hal itu hanya berlaku jika berhadapan denganku saja.

"Iya, gue sadar kalo dia unik"

....manis juga.

"Unik? Iya sih. Menarik juga ya 'kan?" Judan mengangkat sebelah alis matanya.

"Apaan sih lo," sungutku sebal, entah kenapa.

"Lo suka tuh sama dia," balas Judan semakin puas menggodaku.

"Gak,"

"Mas--"

"Mungkin iya," potongku cepat. "Tapi gue selalu hampir gak bisa nahan emosi kalo udah ngehadepin tingkahnya."

Hening. Tidak ada sahutan dari Judan.

Aku meliriknya yang ternyata sedang menutup mulut berusaha menahan tawa.

Sialan.

"Jangan bilang siapa-siapa!" sentakku gelagapan saat sadar yang sejak tadi kuucapkan.

Judan menggeleng.

"Berapa tahun lo kenal gue? Lagian, yang beneran cowok kaya gue gak akan bocorin masalah sahabatnya sendiri,"

"Nggak-nggak," aku mengangkat tangan. "Yang tadi gue ngawur. Ya walaupun dia emang manis, unik, lucu jug--gue bukannya suka kok sama dia."

"Ampun deh, Gi" Judan menggeleng masih dengan senyum gelinya.

"Oke sih lo gak jujur sama perasaab lo ini. Lagian lo juga gak bisa apa-apa karena terikat sama perjanjian yang lo buat sendiri."

No relationship.

Uh-oh. Sialan.

***

"Argi,"

"Iya, halo"  kataku menjawab panggilan cewek di ujung telepon sana.

"Bisa minta tolong?"

"Ya?"

"Anterin aku ke gramedia bisa? Ayah lagi pergi, aku bingung harus pergi sama siapa."

Aku berpikir sejenak, "sekarang?"

"Iya. Nanti aku ganti uang bensin, deh"

"Eh, apaan. Gak usah. Aku jemput abis maghrib aja ya?" tawarku.

"Oke, makasih."

Lalu sambungan diputus dari seberang. Aku menyentuh dadaku yang berdegup cepat, seperti yang biasa terjadi jika sesuatu berhubungan dengannya.

Mau apalagi si alumni hati?

Note:
Cie alumni hati wkwk. Maapken lama update. Yakali tugas numpuk banget, ini juga nyempetin dikit-dikit.
Jan lupa vomment! Thx

OSIS in LOVEWhere stories live. Discover now