xiv. Cuma ketuanya

3.2K 180 1
                                    

ARGI

Aku berusaha menahan rasa mendidih dan menyembunyikan raut tidak bersahabatku pada siapapun yang ada di acara ini.

Melihat Jihan datang bersama Yusuf sudah cukup membuatku menggeram kesal. Terlebih saat mendengar jenis hukuman yang diberikan Judan untuk mereka berdua.

Damn this feeling!

Jihan pamit pulang, disusul dengan tawaran Yusuf untuk mengajaknya pulang bersama yang benar-benar membuatku ingin menonjok muka sok polosnya itu karena sebenarnya dia menyelaku yang ingin menawarkan hal yang sama pada cewek manis itu.

Untung Jihan menolak dengan alasan akan langsung pergi ke suatu tempat dengan sahabatnya.

***

Aku menahan napas tanpa sadar saat lagi dan lagi melihat Jihan tertawa sangat manis dari kejauhan. Entah diaーyang sedang asik mengobrol sadar atau tidak sedang aku pandangi.

Whuzzz!

Angin kencang dan dingin melewati telingaku membuatku bergidik kaget. Aku menatap Judan kesal saat dia malah asik menampilkan deretan gigi putihnya.

"Apaan sih!?" bentakku heran kenapa dia iseng sekali meniup telingaku.

"Liatinnya biasa aja, nanti dia sadar ada yang lagi mandangin dia sambil ngelamun mesum." balas Judan.

Aku melempar sisa-sisa kerupuk tepat didepan wajahnya.

"Dih dia marah," Cowok di depanku ini malah terkekeh geli.

"Bisa diem gak?" kataku sambil menatapnya se-horor mungkin.

"Kayaknya yang lalu bakalan terulang lagi nih," kata Judan pelan, masih tak terpengaruh dengan tatapanku.

"Maksud lo?" Tanyaku sinis.

"Udah deh, Gi, cabut aturan no relationship lo itu. Nanti lo sendiri yang repot nahan perasaan lo."

Aku berdecak melihat tatapan iba yang Judan berikan padaku.

"Gak akan. Gua gak ada niat buat apa-apain dia,"

"Apa-apain? Kok ambigu ya?" Judan menyengir lagi.

Astaga, aku benar-benar gatal ingin meninju wajahnya.

Aku menghela napas, menetralkan emosi yang belakangan ini jadi mudah terpancing.

"Maksudnya, gue cuma mengagumi dia dan gak ada hal lain yang gue mau selain jadi ketuanya di dalam organisasi," jelasku yakin.

Judan mengangguk seolah mengerti.

"Oke, hal ini gak akan gue bahas lagi."

"Good."

"Terkecuali, tingkah lo yang mancing gue buat sompral sama ketos," lanjutnya lalu tertawa kencang dan puas.

"Lagi ketawa apa kang Judan?"

Aku mendongak ketika suara cempreng familiar itu terasa begitu dekat.

"Ah, nggak, ini si Argi lagi ngelawak," jawab Judan masih dengan sisa tertawanya.

Jihan melirikku. Buru-buru kualihkan pandangan ke arah lain, takut dia sadar aku sudah lebih dulu memperhatikannya yang tiba-tiba datang.

"Muka asem gitu bisa ngelawak, kang?" Tanya Jihan, otomatis membuat tawa Judan kembali pecah.

"Eh, aduh, keceplosan." Lanjutnya dengan tampang pura-pura sadar bahwa yang dia ucapkan adalah sebuah kesalahan.

Lalu Jihan tertawa. Tepat di hadapanku yang sedang duduk sambil mendongak melihat wajah merahnya.

Apanya yang lucu sih padahal!?

Tapi anehnya aku tidak merasa marah. Bahkan tersenyum (dalam hati tentunya) ikut bahagia melihat Jihan tertawa puas.

"Duh, udah deh ah, gak kuat. Padahal gue gak tau dia ngelawak apa tadi, tapi bayangannya aja udah kocak abis," Jihan berbicara setengah tersengal di sela tawanya.

"Lain kali ngelawaknya depan saya ya, kang." Pintanya sambil tersenyum menunjukkan giginya padaku.

Aku masih diam, bingung kalimat apa yang harus aku ucapkan sejak awal.

"Masuk kelas sana," balasku berusaha selembut mungkin, tapi malah nada dingin yang keluar.

"Yeuu, dispenser. Sama gue doang dinginnya, gak adil." Gerutunya yang jelas dapat di dengar.

"Apa?" Tanyaku.

"Nggak!" Jawabnya menatapku butek, tapi kemudian tersenyum pada Judan, "ke kelas duluan ya, Kang."

Sepeninggal Jihan, Judan hanya menggeleng masih dengan kekehannya.

"Hati sama ekspresi gak sinkron, kabur deh, nyesel tuh dalem hati. Emang lucu ya kalian tuh," katanya.

Iya nyesel. Mulut bego! Duh.

Ps:
Hehehe maaf baru update. Abis ada aja kendalanya, tiap waktu lenggang trus mau lanjut eh malah stuck, giliran dapet ide malah waktu lenggang yang gak ada :'v

OSIS in LOVEWhere stories live. Discover now