36 ● Impossible

7.3K 997 110
                                    

Sungmi menata anak rambutnya sekali lagi. Menyelipkan beberapa helai ke belakang telinga lantas memoles bibirnya dengan liptint soft pink yang baru ia beli beberapa hari lalu.

Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum jam tujuh tepat. Dan ia hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai di toko buku.

Sungmi menghela nafas panjang kala ia melihat pesan yang tadi dikirimnya untuk Jimin belum juga di baca oleh lelaki itu.

"Aku akan benar-benar marah kalau kau sampai lupa," gumam Sungmi sembari memasukan ponselnya ke dalam sling bag hitam yang melintang di tubuhnya.

Gadis itu melangkah di trotoar. Menuju halte bus terdekat dari apartemennya. Menjejalkan kedua tangan pada saku coat yang ia kenakan.

Malam itu dingin seperti biasa, dan sepertinya semakin bertambah dingin. Apalagi pembaca berita di tv mengatakan kalau salju pertama akan turun lusa malam.

Ia mempercepat langkahnya saat bus tujuannya tiba lebih dulu. Berlari kecil supaya tidak tertinggal.

Sungmi mengambil tempat di bangku untuk satu orang. Memandang keluar jendela seperti biasa, ditemani alunan lagu dari earphone yang menyumpal telinganya.

Hingga lagu kelima diputar, bus yang ia tumpangi berhenti di halte tujuannya. Ia kembali melangkah.

Matanya menyapu setiap sudut jalan, lalu mendengus pelan. Toko-toko yang bersinar di malam hari, orang yang berlalu lalang, dan suara kendaraan yang memekakkan telinga. Gadis itu memang tidak terlalu suka dikeramaian. Ia lebih memilih toko buku yang tenang, kedai kopi yang tidak terlalu ramai, ataupun rooftop sebuah gedung.

Tangannya menempel pada kenop, mendorongnya hingga bel yang terpasang di atas pintu itu berdering. Mengedarkan pandangannya ke setiap sudut, mencari sosok Jimin yang mungkin saja sudah datang lebih dulu, tetapi nihil.

"Oh, aku lebih awal sepuluh menit," gumamnya seraya melihat arloji yang melingkari lengan kurusnya.

Ia menyusuri jejeran rak buku. Mengambil sebuah buku novel, lalu membawanya ke meja khusus untuk membaca buku. Toko buku itu layaknya perpustakaan, selain buku-bukunya bisa untuk di beli, boleh juga untuk dibaca cuma-cuma tentu saja yang bungkusnya sudah di buka.

Sungmi kembali melirik arlojinya. Pukul delapat tepat. Ia tersenyum kecut, mungkin Jimin akan sedikit terlambat malam ini. Jadi ia akan menunggu, sambil membaca buku.

Mungkin beberapa buku.

***

Lelaki itu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Malam ini ia terlihat jauh lebih tampan dengan setelan jas hitam yang menggantung di tubunya. Memberikan kesan dewasa pada siapapun yang melihatnya.

Ia menatap keluar jendela kamarnya. Memandangi apapun yang tertangkap indra penglihatannya.

Pintu kamarnya terbuka tanpa di ketuk lebih dulu. Diiringi suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

"Jimin-ah," panggil Ibunya lembut. Wanita yang selalu terlihat awet muda itu mengusap bahu Jimin pelan. Bergelayut pada lengan kekar putra sulungnya.

Rahang Jimin mengeras. Mengatup rapat. Masih enggan menanggapi apapun perkataan Ibunya setelah pertengkarannya tadi dengan Ayahnya.

"Jimin-ah, ini sudah waktunya, kau tidak mau Ayahmu marah lagi 'kan?" lagi suara Ibunya menggema di telinga Jimin. Memaksanya untuk melirik perempuan nomor satu di hidupnya.

Ia menghela nafas panjang. Lalu tertunduk dalam. "Kenapa Appa setega ini, Eomma? Kau tahu? Aku sudah memiliki seseorang yang sangat aku cintai. Dan malam ini? Aku malah bertemu calon tunanganku, bukannya pacarku,"

TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang