Isolate (V) Verifikasi Luka

Mulai dari awal
                                    

߷߷߷

SEWAKTU Rian maju ke depan untuk melakukan presentasi kelompok Seni Budaya, Rian sudah melihat raut wajah berbeda dari Ayni. Entah itu apa, tetapi Rian yakin terjadi sesuatu yang benar-benar membuat mood seorang Ayni berubah.

“Ri? Alvin nggak masuk sekolah, ya?” tanya Rian, sebelum memasukkan berbagai buku referensi yang digunakannya saat presentasi tadi.

“Gatau,” jawab Riana, singkat.

“Eh? Kan dia gebetan lo, kabar gebetan sendiri kok nggak tau?” Rian bertanya.

Riana menjawab pertanyaan itu dengan endikan bahu. Hal yang jarang dilakukannya di depan Rian, karena ketus pada Rian membuat Riana dilanda rasa bersnalah tanpa sebab.

“Lo beneran nggak tau sesuatu?”

Barulah saat itu Riana mengangkat wajah, menatap Rian. “Dia sakit.”

 “Sakit? Hah? Kok dia bisa sakit?” Rian biasanya tahu kenapa atau apa saja yang terjadi pada teman-temannya itu. Mendapat berita kalau Revan sakit, rasanya Rian semakin didera rasa bersalah karena sudah lama tidak berkunjung ke rumah itu.

“Dia manusia,” jawab Riana sekali lagi.

“Ya elah, Ri. Gue juga tau kalau dia manusia, maksud gue penyebab dia sakit tu apa, misalkan demam, mabok, atau karena lo tolak, bisa aja, kan?”

Riana menyisir rambutnya ke belakang sebentar lalu mengatakan, “Tawuran.”

“Hah?”

“Hah mulu.”

“Dia tawuran? Kapan? Bareng SMA mana? Beritanya kok nggak kesebar di sekolah? Tumbenan deh anak Cakrawala hobi gosipnya nggak up to date.” Rian mengacak-acak rambutnya frustasi. “Pihak keamanan juga nggak tau?”

“Gue nggak ngurus.” Riana menaikkan kedua tangannya di udara. Segera dia mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas, berniat melakukan ritualnya seperti biasa.

“Nggak ngantin?” tanya seseorang, menginterupsi obrolan Rian dan Riana.

“Gue ada urusan OSIS, jadi nggak bisa ke kantin. Kenapa, Ay? Lo laper? Bukannya nggak biasa makan di kantin? Oh lo bareng Riana aja, daripada dia sendiri, ntar digangguin Wira,” cerocos Rian.

“Yan, lo jadi banyak tanya,” tukas Riana kemudian pamit untuk menuju rooftop.

“Lo sama dia ada sesuatu, ya?” tebak Rian begitu hanya ada dia dan Ayni di kelas.

“Dia siape?”

“Riana.”

“Enggak ada apa-apa, curigaan banget sih kamu.” Ayni menjawab dengan nada bercanda khas ratu sinetron yang sering dilihatnya, kemudian setelah melihatnya, Ayni akan muntah dua kali dalam sehari.

Tapi, bohong. Ayni memang jijik pada sinetron-sinetron itu, tetapi Ayni tidak lebay mengatakan bahwa dia muntah d itu.

“Biasanya lo ngajakin dia, kan?” ,Rian membuat sebuah pertanyaan.

“Bener deh kata Riana, lo jadi banyak tanya hari ini,” decak Ayni. “Yang tadi itu, gue  ngajakin dia sebenarnya, eh lo-nya yang geer nyangka gue nanyain lo, yaudah bodo dah.”

“Terus biasanya lo bujuk-bujuk dia?”

“Ya gue lepas dulu, ntar dia balik lagi kok ke gue. Gue kan orangnya ngangenin.” Ayni mengedipkan kedua matanya genit, sukses membuat Rian jantungan.

߷߷߷

TIGA hari sudah Revan merasa bosan di rumah. Padahal kalau hari sekolah, Revan begitu mengidam-idamkan libur.

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang