Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja

Start from the beginning
                                    

Tawuran memang adalah salah satu keahlian The Pithecantropus sebagai jagoan SMA Cakrawala. Orang-orang yang selalu berada di bagian paling depan. Terutama Revan. Mungkin hanya dengan melihat Revan, kebagakan lawan mereka akan langsung mengkeret.

“Ngape lu? Masih kesal sama si Yoga?” tanya Cepi, begitu menyadari sejak tadi Revan diam.

“Enggak, baik-baik aja kok gue.” Revan menarik napas panjang. Segera diletakkannya obat merah pemberian Riana. “Sakitnya masih kerasa. Susah ngomong gue jadinya.”

“Den, ini Bapak nelpon!” seru Bi Wala, berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur sambil membawakan ponsel milik Revan.

“Udah diangkat, Bi?”

“Belom, Bibi nggak ngerti ngangkatnya begimana.” Ponsel itu kini beralih tangan kepada Revan.

Video call?

Revan menekan tombol hijau di layar dan menunggu kebersihan gambar yang ditunjukkan layar ponselnya.

“Abis tawuran lagi?” sambut Agra begitu melihat wajah anaknya di layar kamera.

“Wah, Papa. Enggak, ini abis kejedot dinding tadi,” kekeh Revan begitu mata Papanya di seberang menyipit. “Serius, Pa.”

“Denger ya, Revan. Biarpun kamu bandel, asal kamu jujur, Papa nggak masalah.” Laki-laki berseragam loreng hijau itu berdecak, kontan membuat Revan didera rasa bersalah.

Prinsip Revan itu selalu, jika diboleh kan Papa berperilaku urakan maka jangan sampai membuat Papa kecewa karena ulah sendiri.

“Iya, Pa. Sama anak SMA Gradua, musuh bebuyutannya Revan,” ungkap Revan, setelah sadar bahwa sepandai-pandai apapun kamu menyembunyikan sesuatu, apa yang kamu sembunyikan sebenarnya tidak sedang benar-benar sembunyi.

“Ooh, kamu bikin teler?” tanya Agra cuek.

“Iya, abis Revan nampolnya pake cinta yang banyak, dia jadi ketagihan eh taunya lemas dan tidak berdaya.” Revan tersenyum lebar, berhasil membuat seseorang yang punya ikatan darah dengannya itu mendengus geli karena banyolannya. “Papa … kenapa tiba-tiba nelpon?”

“Lagi pengen aja.” Tampak pria di layar memutar pemandangan di depannya. “Kalau Internet di sana lemot, ingat yang ada di perbatasan. Papa sampai harus manjat atap rumah orang demi dapatin dua garis sinyal. Jadi kamu harus bersyukur.”

“Wah berjuang banget dong, Om? Mau dong diperjuangin tentara,” celetuk Cepi, mirip abege labil.

Yang dirasa Revan justru hal lain. Ada sesuatu yang dilihatnya dari Agra, tetapi dia tidak bisa menjelaskan apa itu. Seperti sesuatu yang sulit dipercaya tetapi sesuatu itu memang ada.

“Buat hari ini, Papa pengen dengerin cerita kamu soal cewek yang kamu taksir,” perintah Agra malam itu.

Untuk alasan apapun itu, Revan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

߷߷߷

Bintang mulai naik ke atas, menyapa bulan yang berulangkali menguap karena bersinar sendirian. Awan yang berarak-arakan maklum, tidak mau menutupi bulan karena jelas mereka tahu bulan lelah. Bulan bersinar setiap malam, menerangi manusia, tetapi manusia selalu mengelu-elukan matahari.

Riana yang mengamati beberapa benda langit itu hanya bisa tersenyum kecil memahami perasaan bulan, kemudian kembali menggoreskan pensil kayunya ke atas kertas putih yang dibawanya dari rumah. Salah satu peralihan kualitas dirinya ketika dilanda jenuh.

Tanpa sepengetahuan Riana, Revan berdiri di sana juga. Memegang kameranya dan diam-diam mengambil bidikan foto gadis itu. Senyumnya melebar begitu pose Riana yang sedang menatap langit serta rambut yang terurai itu berhasil tertangkap lensa kameranya.

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now